JAKARTA (ANTARA) – Dalam beberapa tahun terakhir, layanan bayar nanti atau beli sekarang bayar nanti (beli sekarang bayar nanti) semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tunggakan upah yang dibayarkan perusahaan keuangan mencapai Rp8,41 triliun hingga Oktober 2024, meningkat 63,89 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Sayangnya, peningkatan tersebut dibarengi dengan penurunan kualitas kredit. Rasio dana bermasalah (NPF) bruto layanan ini meningkat dari 2,60 persen pada September menjadi 2,76 persen pada Oktober 2024.
Di sisi lain, sektor e-commerce mencatat pertumbuhan pesat. Data Kementerian Perdagangan memperkirakan nilai transaksi e-commerce pada tahun 2024 mencapai Rp 487 triliun, meningkat 7,3 persen dibandingkan capaian tahun sebelumnya sebesar Rp 453,8 triliun.
Jumlah pengguna e-commerce diperkirakan akan mencapai 65,65 juta orang pada tahun 2024, meningkat 12 persen dibandingkan tahun lalu. Momentum seperti Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) memberikan kontribusi yang besar, dengan total transaksi mencapai Rp 25,7 triliun pada tahun 2023, meningkat 182 persen dibandingkan pelaksanaan pertama pada tahun 2019.
Peningkatan transaksi e-commerce dan penggunaan payer mencerminkan pesatnya transformasi digital di Indonesia.
Berdasarkan survei terbaru bulan Oktober 2022 yang dilakukan Jakpat, penyedia layanan survei online dengan lebih dari 1,1 juta responden terdaftar. Lebih dari 90 persen pengguna Paylater berasal dari setiap generasi
Penelitian tersebut melibatkan 1.506 responden berusia 15 hingga 71 tahun. Penelitian ini memberikan gambaran jelas tentang dominasi e-commerce dalam penggunaan layanan pembayar di semua generasi.
Namun, kombinasi pertumbuhan ini dengan memburuknya kualitas kredit merupakan tanda bahaya bagi keuangan pribadi masyarakat. Fenomena ini menimbulkan dugaan kuat bahwa konsumsi masyarakat semakin meningkat akibat adanya pembelian impulsif, yaitu ketika seseorang berencana membeli sesuatu di mall atau tempat belanja lainnya, namun begitu masuk ke tempat tersebut, tiba-tiba ada item daftar belanjaan. Apa yang ada dalam pikiran mereka langsung lenyap. Hal ini mungkin disebabkan oleh strategi pemasaran yang agresif seperti diskon, cashback, atau pembayaran cicilan yang mudah.
Meningkatnya kualitas kredit bermasalah menunjukkan banyak konsumen yang tidak memiliki kemampuan keuangan yang cukup untuk menangani utangnya.
Dampak negatif penggunaan Pelator yang tidak terkendali dapat dirasakan dalam berbagai aspek, baik finansial maupun psikologis. Dari sudut pandang keuangan, keterlambatan pembayaran sering kali mengakibatkan bunga dan denda semakin bertambah, sehingga memperburuk situasi keuangan seseorang. Faktanya, riwayat kredit yang buruk akibat gagal bayar dapat menyulitkan akses terhadap fasilitas kredit lain di kemudian hari, seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Sementara itu, dampak psikologisnya tidak kalah seriusnya. Beban hutang yang menumpuk seringkali menimbulkan stres dan kecemasan sehingga menurunkan produktivitas kerja. Sebab dengan meningkatnya stres dan kecemasan, seseorang menjadi sulit berkonsentrasi dalam melakukan pekerjaannya. Padahal, seseorang bisa memperoleh penghasilan yang baik jika kondisi fisiknya sehat, pikirannya penuh konsentrasi, dan hatinya tenang.
Dalam beberapa kasus ekstrem, individu yang terjebak utang bisa mengalami depresi berat, bahkan sampai mengambil tindakan nekat. Fenomena ini menunjukkan bahwa Paylator, meski menawarkan kemudahan, namun memiliki risiko besar yang seringkali tidak diketahui oleh penggunanya.
Sebuah studi yang diterbitkan pada tahun 2024 di El Barka: Journal of Islamic Economics and Business berfokus pada integrasi pengetahuan keuangan dan nilai-nilai moral untuk mengendalikan perilaku impulsif.
Pemahaman finansial yang dipadukan dengan nilai moral dapat membantu seseorang membangun kesadaran finansial dan memiliki nilai moral yang kuat.
Dengan pola pikir “sadar, menerima dan memperbaiki”, seseorang dapat mengembangkan kebiasaan konsumsi yang lebih sehat dan bertanggung jawab.
Refleksi pribadi dan membangun kebiasaan baru dapat membantu menghindari perilaku konsumen. Hal ini mencakup prioritas atas kebutuhan dan menggunakan pengalaman masa lalu sebagai pembelajaran untuk meningkatkan pengelolaan keuangan.
Untuk mencegah dampak negatif peningkatan penggunaan pembayar dan transaksi e-commerce, diperlukan solusi dengan menciptakan karakter hidup sederhana.
Keluarga berperan penting dalam membentuk karakter hidup sederhana pada anak. Nilai-nilai tersebut dapat ditanamkan melalui ajaran agama yang mengajarkan prinsip qana’ah (merasa cukup) dan tabayyun (menentukan kebutuhan sebelum bertindak).
Selain itu, budaya hidup sederhana juga dapat dicontohkan melalui pengelolaan keuangan keluarga seperti membuat anggaran harian atau memprioritaskan kebutuhan.
Pola pikir “sadari, terima, dan perbaiki” merupakan langkah sederhana namun efektif untuk membantu individu mengubah kebiasaan konsumen menjadi lebih bertanggung jawab.
Langkah pertama adalah mewaspadai kebiasaan belanja yang berlebihan atau tidak perlu. Selanjutnya, individu harus menyadari bahwa kebiasaan ini mempengaruhi status keuangan mereka dan memerlukan perbaikan. Langkah terakhir adalah membuat rencana tindakan, seperti membuat anggaran atau membatasi pembelian hanya pada barang-barang yang benar-benar dibutuhkan.
Pola pikir ini tidak hanya mendorong refleksi pribadi, namun juga membantu membangun kebiasaan baru yang sehat.
Pendekatan Matriks Eisenhower dapat membantu individu membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Matriks ini membagi keputusan pembelian menjadi empat kategori: belanja kebutuhan pokok (penting dan mendesak); Jadwal (penting namun tidak mendesak) seperti rencana pembelian barang elektronik; Didelegasikan (tidak penting namun mendesak), yaitu kegiatan pengumpulan yang dapat diabaikan atau dilimpahkan kepada orang lain; dan hapus (tidak penting dan tidak mendesak), seperti membeli suatu barang yang sedang tren atau diskon besar.
Penting untuk menanamkan semangat tidak boros tapi pelit dengan memahami pentingnya prioritas. Membeli kebutuhan harus selalu diprioritaskan di atas kebutuhan.
Untuk membedakan keduanya, orang dapat bertanya pada diri sendiri: Apakah benda ini, jika tidak digunakan, berdampak negatif terhadap kelangsungan hidup? Jika jawabannya ya, maka hal itu tidak bisa dihindari.
Kecenderungan menggunakan pembayar di tengah sindrom pembelian impulsif terbukti menjerumuskan masyarakat ke dalam siklus utang yang sulit dikendalikan. Dengan menanamkan nilai hidup sederhana melalui literasi agama, budaya, dan keuangan, masyarakat dapat mengelola keuangannya dengan lebih bijak.
Bagi mereka yang belum mendapatkan pendidikan ini sejak kecil, refleksi pribadi dan pembentukan kebiasaan baru adalah salah satu caranya. Solusi praktis bagi individu untuk membedakan kebutuhan dan keinginan adalah dengan menggunakan metode seperti Matriks Eisenhower.
Terakhir, hati yang tenang, pikiran yang fokus, dan tubuh yang sehat merupakan modal terpenting seseorang untuk mencapai penghasilan yang cukup dan kehidupan yang seimbang. Jadi selalu ada solusi bagi mereka yang sedang berjuang keluar dari utang saat ini.
Setiap langkah kecil dalam mengelola perekonomian dengan bijak adalah awal dari perubahan besar. Dengan kedisiplinan, doa dan usaha yang tiada henti maka masa depan cerah bebas hutang akan tercapai atas kehendak Tuhan.
*) Baratheva Shakti P, Praktisi Keuangan Keluarga dan Asisten Keuangan Bisnis UMKM
Leave a Reply