Jakarta (ANTARA) – Kecerdasan buatan kini dimanfaatkan untuk berbagai hal, mulai dari membuat rencana perjalanan pribadi hingga membuat resep dari bahan sisa di dapur.
Potensi AI tampaknya tidak terbatas dan memenuhi hampir semua kebutuhan kita.
Interaksi yang mulus dengan AI yang terus belajar dan membuat percakapan menjadi lebih personal dan disesuaikan menimbulkan pertanyaan menarik: Dapatkah AI digunakan untuk meningkatkan kesehatan mental? Apakah sekadar mengungkapkan perasaan, mendengarkan cerita ringan, atau sekadar mencari semangat untuk sukses kecil?
Tapi dimana batasannya? Haruskah AI digunakan untuk meningkatkan kesehatan mental?
Dalam sebuah wawancara dengan Hindustan Times, Dr. Deepak Patkar, Direktur Layanan Medis dan Kepala Pencitraan di Rumah Sakit Nanavati Max Super Speciality, menjelaskan lebih lanjut tentang chatbot AI, kapan masuk akal untuk menggunakannya, dan kapan kita harus menarik batasan.
AI sudah tersedia dan sangat praktis. Hanya dengan mengeluarkan perintah sederhana, AI dapat memberikan respons yang dipersonalisasi.
“Chatbot buatan yang didukung oleh pembelajaran mesin canggih dan pemrosesan bahasa alami telah merevolusi aksesibilitas layanan kesehatan mental. Mereka adalah pilihan yang menarik untuk dukungan emosional awal karena mereka dapat memberikan respons yang cepat dan tidak menghakimi ketika seseorang melampiaskan atau berbagi.” Namun, “perannya dalam kesehatan mental masih kompleks,” kata Dr. Patkar, dikutip dari Hindustan Times, Jumat (10/1).
Menurut Dr. Patkar, chatbot AI cocok untuk dukungan emosional awal. Menurut penelitian, chatbots telah terbukti membantu memecahkan masalah berintensitas rendah seperti kekhawatiran atau stres ringan.
Dia menjelaskan bahwa pendekatan terapi perilaku kognitif telah dimasukkan ke dalam aplikasi seperti Woebot dan Wysa untuk membantu pengguna mengidentifikasi dan mengatasi pikiran negatif.
Sumber daya ini memberikan dukungan 24/7 dan dapat mengurangi stigma, terutama bagi mereka yang ragu mencari bantuan profesional.
Selain itu, chatbots sangat bagus untuk mengajarkan mekanisme penanggulangan emosi dan melacak pola suasana hati.
Namun, AI memiliki keterbatasan yang signifikan dalam memberikan dukungan kesehatan mental. Sangat penting untuk memahami keterbatasan ini.
Dr. Patkar menekankan bahwa chatbots tidak dapat menangani masalah kesehatan mental yang kompleks dan kurang memiliki empati dan pemahaman manusia yang mendalam.
“Chatbots tidak dapat mendiagnosis atau menangani masalah kesehatan mental yang kompleks. Mereka juga memiliki keterbatasan dalam menangani situasi darurat secara efektif, yang dapat menimbulkan konsekuensi tragis jika pengguna berada pada saat kritis,” ujarnya.
Dr. Patkar menjelaskan, chatbot sebaiknya digunakan untuk tujuan informal seperti melampiaskan emosi atau mengatasi stres sehari-hari.
“Mereka bekerja paling baik bila digunakan sebagai tambahan terhadap terapi konvensional, bukan sebagai pengganti. Jika Anda mengalami tekanan emosional yang ekstrem, pikiran untuk bunuh diri, atau ketidakbahagiaan yang terus-menerus, selalu konsultasikan dengan ahli kesehatan mental bersertifikat,” ujarnya.
Dia menekankan bahwa zona aman untuk menggunakan chatbot lebih merupakan langkah awal dalam memahami perasaan Anda daripada solusi untuk masalah yang lebih serius.
Dr. Patkar menyimpulkan bahwa ketika bantuan profesional dibutuhkan, bantuan tersebut harus selalu menjadi prioritas dan memanfaatkan alat AI sebagai bagian dari dukungan.
Leave a Reply