Jakarta (ANTARA) – Menurut Pusat Kajian Ekonomi dan Hukum (Selios), penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Peppu) yang membatalkan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen mungkin merupakan indikasi kompromi yang dilakukan Presiden Prabowo. Subianto. dengan orang-orang.
“Sudah saatnya Presiden Prabowo menerbitkan Perpa yang mencabut kenaikan PPN sebesar 12% dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan masyarakat menengah ke bawah yang terhimpit kesulitan ekonomi,” kata Selios. . Direktur Hukum Mhd Zakiul Fikri mengatakan dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Menurut penelitian Celios, kenaikan tarif PPN dapat meningkatkan inflasi secara signifikan. Melihat pengalaman tahun 2022, perubahan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen menyebabkan kenaikan inflasi dari 3,47 persen (ii) menjadi 4,94 persen (ioi). Kenaikan tarif PPN sebesar 12 persen pada tahun depan akan menyebabkan inflasi sebesar 4,11 persen (y/y), dibandingkan dengan 1,55 persen (y/y) pada bulan November 2024.
Meningkatnya inflasi dapat melemahkan belanja konsumen. Berdasarkan perhitungan Celios, kelas menengah akan dikenakan biaya tambahan bulanan sebesar Rp354.293 atau kenaikan tarif PPN 12% sebesar Rp4,2 juta per tahun. Sementara itu, keluarga miskin akan meningkatkan pengeluarannya menjadi Rp101.880 atau Rp1,2 juta per bulan.
Zackul melanjutkan, kenaikan pengeluaran berbanding terbalik dengan pendapatan gaji bulanan. Misalnya, rata-rata kenaikan upah di Indonesia pada tahun 2023 hanya sebesar 2,8 persen atau setara Rp 89.391 per bulan.
Pada tahun yang sama, angka pengangguran mencapai 11,7 persen, salah satunya akibat pemutusan hubungan kerja (PHK). Sejak November 2024, sudah ada 64.751 orang yang terkena PHK.
Karena berbagai keadaan tersebut, Zakiul menilai sebaiknya pemerintah membatalkan kenaikan PPN menjadi 12 persen.
“Ketentuan terkait pemungutan pajak harusnya dapat melindungi masyarakat atau kepentingan masyarakat berdasarkan asas perpajakan non-representatif. Ketika data menunjukkan kenaikan PPN berdampak pada krisis perekonomian. garis kemiskinan, maka “norma hukum yang mewajibkan kenaikan PPN ini tidak mengandung arti dan keadilan,” jelasnya.
Ia menegaskan, tujuan norma hukum harusnya obyektivitas dan keadilan hukum (billijkheid en rechtvaarding), bukan sekadar kepastian hukum.
Ada kekhawatiran jika kebijakan PPN 12 persen dalam UU HE tetap diterapkan akan menimbulkan permasalahan hukum (rechtsprobleem) atau bahkan kekacauan hukum (rechtsvervarring).
“Permasalahan hukum antara lain inflasi atau kenaikan harga barang dan jasa, berkurangnya daya beli keluarga kelas menengah ke bawah, meningkatnya pengangguran, tekanan terhadap UKM dan industri manufaktur, serta potensi peningkatan jumlah penduduk miskin di Indonesia,” ujarnya. .
Oleh karena itu, keberadaan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Bab IV Pasal 4 Angka 2 UU HE Tahun 2021 tidak cukup karena kurang sahih dan adil secara hukum.
Namun, mengingat keadaan saat ini tidak memungkinkan untuk menetapkan atau merevisi undang-undang melalui prosedur normal, prosesnya memakan waktu lama dan CDP saat ini ditangguhkan hingga tanggal 15 Januari 2025, Pemerintah dapat menggunakan jalur keluar Perpu.
Penerbitan Perpu sering dilakukan pada pemerintahan sebelumnya, yakni pada masa Presiden ke-7 RI Joko Widodo. Salah satunya terkait perpajakan yakni tidak adanya Perppu. Tentang Bunga Pajak 1 Tahun 2017. Lahir sehubungan dengan Perpu Tax Amnesty, kebanyakan orang kaya dan pengemplang pajak.
“Jika Jokowi mengkhianati Perpa demi orang kaya, sudah saatnya Prabo Subjanto meninggalkan bayang-bayang Jokowi dan masyarakat menengah ke bawah,” ujarnya.
Leave a Reply