Jakarta (ANTARA) – Peneliti Departemen Ekonomi dan Keuangan (Indef) Agus Herta Sumarto mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam mengambil aturan terkait kenaikan pajak agar tidak menurunkan daya beli masyarakat.
“Salah satu cara untuk menaikkan tarif pajak kita adalah dengan menaikkan tarif pajak, meski ada cara lain. Namun pemerintah juga harus berhati-hati, jangan sampai kenaikan pajak ini justru menggerogoti daya beli,” kata Agus saat dihubungi dari Jakarta, Selasa.
Ia pun memahami apa yang dilakukan pemerintah dengan menaikkan tarif pajak. Pasalnya, salah satu permasalahan di bidang perpajakan adalah tarif pajak Indonesia yang masih rendah dibandingkan negara-negara G20 dan beberapa negara ASEAN.
Pada tahap awal, dia menyarankan penerapan PPN sebesar 12 persen yang akan dipungut pada tahun 2025, diterapkan pada sektor-sektor tertentu yang tidak berdampak langsung terhadap daya beli masyarakat luas.
Menurutnya, pemilihan produk elektronik, fashion dan otomotif merupakan sebuah langkah bijak karena produk tersebut bukanlah produk primer yang berkaitan dengan kebutuhan pokok masyarakat luas, menurutnya ketiga jenis produk tersebut masuk dalam kategori kebutuhan sekunder bahkan ada yang termasuk dalam barang mewah atau barang mewah.
“Jadi yang akan terkena dampak langsung adalah masyarakat kelas menengah ke atas yang memiliki pendapatan relatif tinggi,” ujarnya.
Ia juga memperkirakan kenaikan PPN di awal penerapan ini kemungkinan besar akan berdampak terutama pada jumlah klaim. Namun mengingat konsumennya adalah masyarakat kelas menengah ke atas, maka akan terjadi penyesuaian dan penyesuaian pola konsumsinya sehingga dalam jangka menengah dan panjang pola konsumsinya kembali normal.
Maklum, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 akan tetap dilaksanakan sesuai amanat Undang-Undang (UU).
Wacana PPN sebesar 12 persen tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Aturan Fiskal (HPP) yang dirancang pada tahun 2021. Setelah itu, pemerintah mempertimbangkan kondisi kesehatan dan kebutuhan pokok masyarakat yang terdampak COVID-19. pandemi.
Artinya, ketika kita mengambil kebijakan terkait perpajakan, termasuk PPN, tidak dilakukan secara membabi buta dan seolah-olah kita tidak ada konfirmasi atau perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan, bahkan saat itu termasuk sembako, kata Sri Mulyani. .
Ia mengatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus tetap sehat sekaligus mampu berfungsi dalam merespons berbagai krisis.
Leave a Reply