Jakarta (Antara) – Agresi Israel di Jalur Gaza yang tak berhenti sejak 7 Oktober 2023, menimbulkan penderitaan tak terkira bagi rakyat Palestina yang kini melihat tanah airnya berada di ambang kehancuran.
Sekitar 43.800 orang tewas dalam serangan ini, kebanyakan dari mereka adalah wanita dan anak-anak, dan lebih dari 103.600 orang terluka.
Sayangnya, jumlah ini tidak berhenti bertambah ketika Israel terus menerus menyerang Gaza.
Sementara komunitas internasional, berbagai organisasi global dan bahkan tuntutan hukum di pengadilan internasional dipenuhi dengan kritik dan kecaman, tidak ada tanda-tanda bahwa Israel ingin menghentikan tindakannya di Palestina; Mereka justru menjadi lebih kejam.
Agresi Israel terhadap Gaza telah memaksa jutaan warga Palestina mengungsi ke daerah yang lebih aman, dan jumlah warga di Gaza semakin berkurang akibat serangan berulang kali oleh pasukan Zionis.
Hanya sedikit yang terpaksa mencari tempat aman di luar negaranya. Salah satunya adalah Ammar Abu Ali dan keluarganya yang meninggalkan Jalur Gaza dan mencari keselamatan.
Dia termasuk di antara orang-orang beruntung yang berhasil melarikan diri dari Gaza sebelum perbatasan di Rafah di Gaza selatan ditutup sepenuhnya.
Ia memutuskan untuk menjadikan Indonesia sebagai tempat yang aman dan memulai babak baru dalam hidupnya dengan mendirikan sebuah kafe bernama Elite’s Cafe di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat.
Tiba di Indonesia
Ammar mengenang kehidupannya di Gaza jauh sebelum pindah ke Indonesia. Diakuinya, pekerjaan terakhirnya di Gaza adalah sebagai guru IPS dan bisnis di sebuah sekolah menengah internasional yang muridnya sekitar 500 orang.
Menggambarkan situasi di Gaza sebelum serangan Israel, dia berkata, “Kehidupan di Gaza sangat dinamis dan berkembang, dan keadaan sangat baik pada saat itu.” Ia mengatakan, kehidupan berjalan seperti biasa.
Ammar mengakui situasi keamanan yang tidak stabil di Gaza dan memahami bahwa situasi keamanan telah memburuk karena hubungan bersenjata yang hampir terus berlanjut antara Hamas dan Israel.
Hal ini terjadi hampir setiap tahun, namun setiap kali terjadi, biasanya akan mereda dalam beberapa bulan, katanya.
Namun, dia tidak menyangka serangan Israel ke Gaza kali ini tidak biasa. Satu atau dua bulan tidak berhenti menunggu, bahkan setelah satu tahun pun tidak berhenti.
Kali ini serangan besar-besaran Israel memaksanya meninggalkan kampung halamannya di Khan Yunis di selatan, dan akhirnya pindah ke Rafah.
Ammar mengatakan hidup di tenda pengungsian itu sulit: Anda hanya bisa mandi setiap delapan hari sekali, dan karena blokade Israel, hanya makanan kaleng yang tersedia selama berbulan-bulan.
Momennya terjadi awal tahun ini ketika dia memutuskan untuk meninggalkan Gaza. Untuk ini, Ammar setuju untuk membayar masing-masing $5.000 kepada perantara Mesir.
Dia menghabiskan hingga $20.000 untuk istri dan orang tuanya.
Pembayaran yang mahal tersebut tidak menjamin bahwa ia akan dapat segera meninggalkan Gaza, karena ia harus menunggu satu bulan hingga namanya tercantum dalam daftar manifes orang yang diizinkan masuk ke Mesir dari Rafah.
“Saya membayar pada tanggal 27 Februari… Seseorang memberi tahu saya pada malam tanggal 27 Maret. Katanya nama keluarga saya akan masuk daftar (manifest) besok pagi. “Saya diminta langsung ke gerbang perbatasan di Rafah,” kata Ammar.
Masih terpatri dalam ingatannya, Ammar sempat meninggalkan Gaza bersama keluarganya melalui titik perbatasan Rafah menuju Mesir pada 28 Maret 2024, dan menunggu di sana sekitar sebulan sebelum akhirnya pindah ke Indonesia dan menetap di Jakarta.
Membangun kehidupan baru
Elites Cafe, milik warga Palestina Ammar Abu Ali, di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat menyajikan berbagai macam masakan Indonesia dan Palestina. Setelah Ammar tiba di Jakarta dari Mesir, ia memutuskan untuk mendirikan kafe di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat dengan bantuan kakaknya. Saat mempersiapkan pembangunan kafe tersebut, ia juga mengenal orang-orang Indonesia yang ditemuinya.
“Orang-orang di sini baik, ramah dan saling menghormati. “Cuaca di sini juga nyaman,” ujarnya.
Kesibukan Ammar di Indonesia kini berkisar pada mengawasi operasional Elite’s Cafe di Gambhir, salah satu upayanya untuk memulai hidup baru di Indonesia yang kini menjadi tempat aman baginya.
Berlokasi di stasiun antar kota yang membutuhkan pelayanan rutin dan cepat, diakuinya sebagian besar makanan yang disajikan terdiri dari makanan cepat saji seperti nasi goreng, ayam goreng, dan mie instan, serta racikan kopi kekinian.
Menu Elites Cafe tidak memiliki makanan khas Palestina, seperti ayam shawarma (seperti kebab), fajitas, dan ayam katsu goreng dengan minuman khas Gaza.
Ketiga makanan tersebut disiapkan menggunakan resep keluarga langsung dari Gaza, dan Ammar mengakui bahwa istrinya ikut serta dalam persiapannya setiap hari.
Untuk menghiasi kafe tersebut, ia memasang beberapa bendera kecil Palestina di sudut kafe, menegaskan identitas restoran tersebut sebagai kafe ‘keturunan’ Indonesia-Palestina.
Kafe miliknya juga memiliki lukisan bertema persahabatan Indonesia-Palestina. Lukisan tersebut memperlihatkan Masjid Al-Aqsa dengan gaya keffiyeh khas Palestina di samping monumen nasional, Stasiun Gambir dan biji kopi khas Indonesia.
Meski sederhana, Ammar berharap makanan dan dekorasi di Elite’s Cafe bisa membantu mengobati rasa rindunya terhadap Gaza.
Ammar mempunyai kebiasaan memberikan makanan gratis kepada para pemulung dan pembantu rumah tangga di kafenya dan menyumbangkan 5 persen pendapatan kafenya untuk perjuangan Palestina.
Harapan tidak hilang
Pemilik Elites Cafe Ammar Abu Ali asal Palestina memperlihatkan lukisan bertema “Solidaritas Indonesia-Palestina” yang dipajang di kafenya di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. (ANTARA/Nabil Ihsan) Sebagai warga Palestina, Ammar semakin besar harapannya agar agresi Israel di Jalur Gaza bisa diakhiri. Untungnya, harapannya juga masih hidup di benak banyak orang di dunia, termasuk Indonesia, yang bersatu membela Palestina.
Ammar tergerak oleh solidaritas Palestina yang ditunjukkan kepadanya oleh para pelanggan yang menikmati hidangan di Elite’s Cafe.
Meski mengaku hidupnya aman setelah berada di Indonesia, Ammar berharap bisa kembali ke Gaza setelah perang berakhir.
Dia ingin membangun kembali kehidupannya di Gaza dan melanjutkan salah satu impian besarnya untuk membangun rumahnya sendiri. Ammar mengatakan, awalnya ia berencana memulai pembangunan pada Januari tahun ini, namun sayangnya tidak terlaksana karena ada serangan Israel terhadap rumahnya.
“Saya juga bertemu dengan kontraktor, arsitek, dan perancang bangunan. “Saya sudah sepakat bahwa pembangunan rumah saya akan dimulai pada bulan Januari,” ujarnya sambil menceritakan persiapannya membangun rumah tersebut saat itu.
Jika takdir berkehendak lain dan mengharuskannya tinggal lebih lama di Indonesia, ia akan memastikan mengikuti aturan keimigrasian yang berlaku. Namun, Ammar menegaskan tidak akan pernah menyerahkan paspor Palestina dan melepaskan kewarganegaraan Palestinanya.
“Ini soal harga diri dan harapan untuk kembali ke tanah air,” ujarnya.
Ia mengatakan, tuntutan rakyat Palestina tidak ambisius di tengah agresi Israel. Mereka menginginkan tidak adanya standar ganda di dunia dan keadilan bagi semua pihak, terutama terhadap Israel sebagai agresor.
Tindakan Israel yang semakin memalukan harus mendapat konsekuensi hukum dari organisasi internasional dan komunitas global, katanya.
Ammar juga mengharapkan adanya boikot terhadap produk-produk Israel dan penguatan pro-Zionisme di Indonesia, karena langkah-langkah yang ada saat ini masih belum cukup. Ia mencontohkan: boikot global berhasil menumbangkan rezim apartheid di Afrika Selatan pada tahun 1990-an.
“Sekuat apapun boikot global terhadap Afrika Selatan pada era apartheid, boikot tersebut harus diperkuat,” kata Ammar.
Stasiun Gambhir menjadi saksi ketangguhan Ammar dan keluarganya dalam berusaha bertahan di tengah ketidakpastian akibat kekejaman Israel yang terus menggerogoti wilayah Palestina.
Tentu saja harapan Ammar dan seluruh rakyat Palestina serta seluruh rakyat yang mendambakan perdamaian di dunia bahwa serangan Israel dapat berakhir dan pemilik tanah air dapat kembali pulang untuk membangun kembali negaranya tidak akan padam.
Leave a Reply