JAKARTA (ANTARA) – Penerimaan pajak sudah lama menjadi andalan pendapatan negara. Pajak merupakan sumber pendanaan utama bagi pembangunan, pengentasan kemiskinan dan pemulihan ekonomi.
Belakangan ini isu terkait perpajakan tengah ramai diperbincangkan masyarakat, khususnya kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN). Pemerintah awalnya berencana menaikkan PPN dari 11% menjadi 12%.
Dalam perkembangannya, dengan mempertimbangkan keadaan saat itu, Ketua Dewan Ekonomi Rakyat Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, pemerintah berencana menunda penerapan PPN menjadi 12% yang akan dilaksanakan terlebih dahulu. 1 Januari 2025.
Pemerintah menunda kenaikan PPN karena pemerintah berencana menstimulasi atau mendorong masyarakat melalui bantuan sosial kepada masyarakat kelas menengah terlebih dahulu.
Faktanya, meskipun kenaikan PPN diperkirakan akan meningkatkan pendapatan pemerintah, terdapat kekhawatiran bahwa kebijakan tersebut dapat menambah beban masyarakat kecil dan memperlebar kesenjangan ekonomi.
Faktanya, kenaikan PPN seringkali bersifat regresif, artinya dampaknya dirasakan oleh kelompok berpendapatan rendah.
Setiap transaksi yang dikenakan pajak dalam sistem ini mempunyai pengaruh yang proporsional terhadap daya beli masyarakat, apapun tingkat pendapatannya.
Jika terjadi kenaikan PPN, harga barang dan jasa menjadi lebih mahal sehingga menggerus daya beli masyarakat miskin yang menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan pokok.
Sebaliknya, kelompok berpendapatan tinggi, dimana konsumsi yang diperlukan menyumbang bagian yang lebih kecil dari total pendapatan mereka.
Tingkatkan penerimaan
Mengandalkan kenaikan PPN sebagai solusi jangka pendek peningkatan penerimaan pajak harus mempertimbangkan banyak faktor yang mempengaruhinya.
Tantangan terbesar sebenarnya adalah memperbaiki basis pajak yang ada sekaligus meningkatkan basis pajak.
Mandat pajak di Indonesia sangat luas, namun seringkali terhambat oleh sejumlah faktor, termasuk tingginya tingkat penghindaran pajak dan rendahnya kepatuhan wajib pajak.
Selain tudingan, masih banyak praktik keuangan curang yang masih terjadi, termasuk segala aktivitas keuangan yang sengaja tidak dilaporkan untuk menghindari kewajiban perpajakan atau peraturan pemerintah.
Disparitas pajak juga menjadi salah satu permasalahan terbesar, dimana terdapat perbedaan antara potensi pajak yang dapat dipungut dengan pajak aktual yang diterima negara.
Data menunjukkan tarif pajak Indonesia masih rendah, berkisar antara 9% hingga 11% PDB, jauh lebih rendah dibandingkan negara tetangga.
Faktanya, masih banyak potensi pajak yang belum tergarap secara maksimal, khususnya di sektor informal, ekonomi digital, dan kekayaan masyarakat kaya.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan penerimaan pajak tidak perlu menaikkan pajak pertambahan nilai, namun pemerintah harus memperluas basis kebijakan, memperluas basis pajak, meningkatkan transparansi, dan memperkuat sistem administrasi perpajakan.
Langkah pertama adalah meningkatkan integrasi data dan teknologi, meningkatkan pengawasan, dan mengurangi penghindaran pajak.
Di era digital ini, informasi menjadi sumber daya terpenting. Pemerintah dapat menggunakan data besar untuk melacak pajak tersembunyi atas transaksi digital, aset, dan aset yang sulit ditemukan.
Langkah Kedua: Menyederhanakan sistem administrasi perpajakan sehingga memudahkan masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Prosedur yang rumit dan birokratis menjadi alasan sebagian besar wajib pajak, terutama yang bergerak di bidang UKM dan perekonomian informal, tidak bersedia atau tidak mampu membayar pajak.
Dengan menyederhanakan sistem pelaporan dan mendorong pelaporan yang jujur, tingkat kepatuhan akan meningkat secara signifikan.
Selain itu, pemerintah juga harus memperkuat penegakan hukum terhadap pelaku penghindaran pajak melalui kerja sama internasional dan mencari dana yang disembunyikan di luar negeri.
Kebijakan pembebasan pajak sebelumnya memberi kesan bahwa sebagian besar harta kekayaan warga negara Indonesia berada di wilayah bebas pajak.
Pemerintah harus menyeimbangkan antara pengawasan ketat dan penegakan hukum dibandingkan hanya mengandalkan insentif.
Solusi lain yang perlu dipertimbangkan adalah pajak properti yang adil.
Presiden Society for Strategic Economics (AKSES) Suruto menilai pajak seharusnya menjadi alat yang adil, namun rencana kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% justru berpotensi membebani masyarakat, terutama masyarakat kurang mampu. Kelas menengah, daya beli serta inflasi.
Sebagai alternatif yang adil, pemerintah dapat menerapkan pajak kekayaan yang menargetkan kepemilikan swasta atas aset seperti real estate, tabungan, dan surat berharga.
Hanya mencakup 2 persen penduduk, pajak ini tidak hanya menciptakan pendapatan baru sesuai dengan prinsip keadilan, namun juga mencegah tumbuhnya monopoli ekonomi dan oligarki perusak demokrasi.
Pajak ini ditujukan kepada individu yang memiliki banyak kekayaan, seperti pemilik real estat mewah, mobil mahal, atau pendapatan tinggi dari investasi.
Dalam sistem yang maju ini, lebih banyak pajak yang datang dari masyarakat dengan pendapatan lebih tinggi.
Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan penerimaan pajak tetapi juga mengurangi kesenjangan ekonomi.
Selain itu, pemerintah dapat memperluas pajak berbasis karbon ke sektor-sektor yang berkontribusi signifikan terhadap emisi.
Pajak karbon tidak hanya mendukung pendapatan nasional, namun juga mendorong peralihan ke perekonomian yang lebih ramah lingkungan.
Potensi pendapatan dari pajak karbon sangatlah besar, terutama jika diterapkan secara efektif dan terukur.
Keterlibatan masyarakat yang efektif adalah kunci untuk mendukung inisiatif ini.
Pemerintah harus menjelaskan dengan jelas bagaimana pendapatan pajak digunakan untuk kepentingan publik, seperti pendanaan pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.
Ketika masyarakat memperoleh manfaat langsung dari pajak yang mereka bayarkan, maka kepercayaan terhadap pemerintah meningkat, yang pada akhirnya mendorong kepatuhan pajak.
Terakhir, peningkatan penerimaan pajak tidak perlu mengorbankan daya beli masyarakat kecil.
Sebaliknya, pendekatan yang lebih murah hati dan inovatif dapat menghasilkan sistem perpajakan yang lebih adil dan efisien.
Kunci keberhasilannya terletak pada kemauan politik yang kuat, reformasi tata kelola yang mendalam, dan implementasi yang konsisten.
Ke depan, Indonesia akan membangun penerimaan pajak yang tidak hanya meningkatkan pendapatan daerah, namun juga mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih berkeadilan.
Leave a Reply