Jakarta (ANTARA) – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) meminta pemerintah melakukan analisa menyeluruh terhadap campuran biodiesel 50 persen (B50) sebelum memutuskan apakah program tersebut akan dihentikan.
Ketua Gapki Kampanye Positif, Eddy Suhardi, dalam diskusi publik Indef di Jakarta, Rabu, mengatakan pemerintah harus berhati-hati dalam menentukan takaran campuran biodiesel.
Selain fokus pada sisi ketenagakerjaan, pemerintah juga harus ingat bahwa devisa negara bisa dihemat dengan mengurangi impor bahan bakar.
Ia juga mengingatkan bahwa kebijakan tersebut harus mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap industri kelapa sawit di negara ini, termasuk pentingnya industri transisi dan upaya untuk mengamankan pasar ekspor.
“Jadi untuk program B50 ini kami meminta pemerintah mengkaji ulang dan melihat ketersediaan serta jumlah sumber dayanya,” kata Eddy.
Eddy mengaku khawatir kebijakan B50 yang terburu-buru dapat menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan, seperti berkurangnya ekspor minyak sawit dan terganggunya rantai pasokan.
Di masa lalu, dia mengatakan kebijakan pemerintah dan pembatasan ekspor bahan mentah dan produk minyak telah menciptakan kekacauan di pasar jika tidak diterapkan dengan baik.
Indonesia kini telah memperkenalkan biodiesel B35. Pemerintah telah mengumumkan kesiapannya untuk meningkatkan biodiesel dari B35 menjadi B40 pada tahun 2025 dan bersiap untuk memperkenalkan B50, bahan bakar yang mengandung 50 persen minyak sawit dan 50 persen solar.
Sementara itu, Ketua Satgas Pemasaran Internasional Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Muhammad Fauzan Rida mengatakan, pemerintah masih mengevaluasi penerapan B50.
“Saat ini penelitian masih terus dilakukan terutama di bidang supply and demand, penelitian ekonomi, penelitian industri, keuangan dan infrastruktur,” kata Fauzan.
Leave a Reply