Jakarta (ANTARA) – Presiden Asosiasi Pengrajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) Komar Kudiya menjelaskan strategi perajin batik lokal untuk bertahan di tengah gempuran daya beli masyarakat yang semakin melemah.
Menurutnya, para perajin batik juga perlu menciptakan karya yang tetap terjangkau dengan kondisi perekonomian masyarakat saat ini, sehingga perajin juga bisa mendapatkan penghasilan selain produk-produk yang bernilai seni tinggi, yang disebut dengan produk kerajinan.
“Selain secara sistematis menghasilkan batik kelas menengah atas yang menjadi karya agung, kita juga perlu mulai tidak terlalu idealis terhadap tujuan yang harus kita kejar. Jadi kami juga memproduksi batik kelas menengah atas yang menengah ke bawah. Segmen menengah ke bawah juga harus kita isi,” kata Komar di Jakarta, Selasa.
Menurutnya, langkah ini juga penting untuk melawan batik “palsu” yang menurutnya beredar di masyarakat dan berasal dari luar negeri, yang tentunya merugikan pelaku industri mikro seperti perajin batik di daerah tertentu di Indonesia.
Komar mengatakan di pasaran, khususnya di pasar e-commerce, terdapat sejumlah produk kain bermotif tie-dye yang disamarkan seolah-olah tie-dye padahal kain tersebut belum melalui proses tie-dye atau sudah diobati dengan lilin. atau lilin.
Padahal, batik asli baik tulis maupun cap yang merupakan bagian dari warisan budaya takbenda UNESCO harus diolah dengan wax atau lilin.
Menurutnya, agar tidak kalah bersaing dengan oknum penjual batik, perajin batik lokal juga harus mampu melayani segmen pasar bawah dan menengah.
Tidak perlu desain yang terlalu rumit. Para perajin bisa membuat batik tulis maupun batik cap dengan desain yang sederhana sehingga produknya tetap bisa menjadi produk yang ekonomis dan tetap menjadi pilihan masyarakat dari berbagai kalangan.
“Kami (pengrajin lokal) harus mengisinya. Misalnya kita hanya membuang yang termahal saja, kita akan menyesalinya. Kita sekarang tahu persaingan dengan barang palsu semakin banyak. Barang palsu bisa dibendung,” kata Komar.
Pria yang juga akademisi Program Studi Kerajinan Tekstil Institut Teknologi Bandung (ITB) ini juga mengatakan, selain perlunya kemampuan adaptasi para perajin batik, ke depan juga diperlukan peran pemerintah untuk memberikan solusi. kerangka hukum, membela perajin batik. .
Salah satu kerangka hukum yang akan dibuat adalah terkait pentingnya mendaftarkan merek Batik Indonesia yang mewakili tanda atau identitas Batik khas Indonesia sebagai produk kekayaan intelektual.
Batik yang tidak memiliki BMI dan tidak memenuhi standar kedepannya tidak boleh lagi beredar sembarangan di pasaran, sehingga batik asli bisa mendominasi pasar dalam negeri.
“Karena banyak yang jualan di media sosial, ada tanda-tandanya dibilang tie-dye, silk tie-dye, macam-macam. Namun kenyataannya tidak demikian. Nah, bagaimana Anda bisa menghentikan hal seperti itu?” Apakah ini referensi?
Leave a Reply