Kabar Harapan

Memberikan Informasi Terupdate Dalam Negri & Luar Negri

Pengamat: Kebijakan pariwisata perlu lihat posisi RI di mata dunia

Jakarta (ANTARA) – Pengamat pariwisata Universitas Andala Sari Lengogeni mengatakan, setiap kebijakan pariwisata pemerintah harus terlebih dahulu melihat posisi Indonesia di mata dunia.

“Mari kita cek dulu apakah posisi Indonesia benar-benar memiliki indeks pembangunan berkelanjutan yang rendah untuk pembangunan pariwisata yang berkualitas,” kata Sari kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.

Menanggapi kenaikan tarif di beberapa destinasi wisata, Sari mengatakan Indonesia saat ini menduduki peringkat ke-22 dalam Travel and Tourism Development Index (TTDI) tahun 2024.

Berdasarkan data yang dipublikasikan World Economic Forum, diketahui pula skor Indonesia pada kategori sosial ekonomi mencapai 5,4. Artinya sektor pariwisata berpengaruh positif terhadap perputaran perekonomian negara.

“Tapi mungkin di sisi lain nilai lingkungannya masih 3,4. Kalah dari Singapura dan Filipina. Namun agak berbeda dengan Malaysia yang meski masih berada di utara. Artinya kalau tujuannya di sini (kebijakan) itu mengurangi dampak terhadap lingkungan, wisata hijau, maka tentunya perhatian harus diberikan terlebih dahulu jika kita ingin mengurangi dampak kerusakan lingkungan,” ujarnya.

Oleh karena itu, ia menilai kebijakan ini perlu dicermati lebih cermat dari segi tujuan, manfaat bagi wisatawan, dan dampak jangka panjang bagi pengelola destinasi dan penduduk setempat.

Sebab keputusan ini berdampak nyata terhadap jumlah wisatawan, khususnya wisatawan mancanegara. Menurutnya, kenaikan harga ini akan sangat memaksa wisatawan untuk membandingkan apple to apple dengan destinasi negara lain.

Belum lagi peran wisatawan yang kini dianggap sebagai co-producer yang dapat membantu pemerintah mempromosikan dan memasarkan destinasi wisatanya melalui video dan ulasan yang dibagikan di media sosial.

“Jika kenaikan harga tinggi pasti akan menurunkan kreativitas wisatawan dan jumlah wisatawan sebagai co-producer yang menggunakan drone di destinasi pasar. Menurut saya, tidak masuk akal apakah drone mengurangi jumlah wisatawan atau merusak lingkungan. katanya.

Kalaupun ingin membuat kebijakan keberlanjutan yang baru, ia menyarankan lebih baik menerapkan sistem pembagian kekuasaan, yaitu membatasi jumlah kunjungan per sesi, memutuskan lokasi mana yang terlarang, lokasi mana yang diperbolehkan, dan lokasi mana yang diinginkan. dilestarikan.

“Indonesia masih berada di jalur pendapatan menengah Apple, dengan pendapatan US$4.400-13.000. Dari berbagai negara maju, Australia dan semuanya. Dengan kata lain, apakah wisatawan domestik bisa mengeluarkan uang sebanyak itu? “Saya melihat hal itu akan terjadi. kurangi minat karena dianggap mahal (harga),” kata dia yang juga menjabat Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah Sumbar itu.

Sebelumnya beredar kabar pemerintah menaikkan harga destinasi wisata di beberapa marzes.

Beberapa di antaranya adalah biaya penangkapan ikan di Taman Nasional Komodo yang naik signifikan dari Rp 25 ribu menjadi Rp 5 juta per orang mulai 30 Oktober 2024, hingga biaya penggunaan drone yang awalnya Rp 300 hingga 2 juta per unit.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *