Kuningan (ANTARA) – Dari satu mulut, Endang Kusumasari mencerahkan mimpi dan harapan. Wanita asal Cirebon, Jawa Barat ini mencurahkan rasa cintanya pada “pohon mulia hitam” yang tumbuh di sisi Gunung Ciremai.
Bersama suaminya, ia mendirikan perusahaan kopi lokal yang memadukan cita rasa unik dengan sentuhan tepat.
Malam itu, saat Festival Cirebon 2024, produk tersebut terlihat sangat cantik dan menarik perhatian pengunjung yang mampir untuk mencicipi kopi yang mereka seduh.
Diprakarsai Pemerintah Kota Cirebon dan Bank Indonesia (BI), festival ini tidak hanya sekedar pameran UMKM lokal, namun bagian dari produk daerah untuk menjajaki pasar internasional melalui pekerja migran.
Di tengah kemeriahan acara ini, Endang berbagi cerita kepada ANTAR, tentang memulai bisnis dan menapaki pasar kopi.
Endang Kusumasari mempersembahkan rumahnya pada Cirebon Festival 2024 di Cirebon, Jawa Barat. (ANTARA/Fathnur Rohman) Perjalanan Endang dimulai pada tahun 2019, saat pertama kali mencicipi biji kopi dari Gunung Ciremai yang diterimanya dari seorang temannya. Rasa penasaran membuatnya memasuki lapangan dengan penuh semangat.
Endang mulai merambah dunia kopi, meminum apa saja, hingga muncul ide untuk menciptakan kopi ala minuman bersoda yang sesuai dengan seleranya.
Namun perjalanan bisnisnya tidak dibarengi dengan aroma kopi aromatik. Pandemi COVID-19 tahun 2020 datang bagaikan badai, mengguncang bisnis yang baru saja dimulai.
“Epidemi ini membuat kami sedih. “Saat itulah kopi kami mulai mendapat perhatian,” kenang Endang.
Dengan tekad dan sikap pantang menyerah, ia terus melangkah maju meski tidak selalu mudah untuk mendekatkan produknya kepada pecinta kopi.
Rahasia kenikmatan pengobatan tidak lepas dari kualitas biji kopi yang dipanen oleh petani setempat.
Endang memastikan setiap biji kopi di lahan petani ditanam secara organik, tanpa bahan kimia, dan kemudian dipanen saat sudah merah atau matang.
Mereka mampu memproduksi hingga 1.500 botol per bulan, dan biji kopi Arabika dan Robusta hingga 45 kwintal diambil dari hasil panen petani.
Perjuangan dan kegigihannya membuahkan hasil. Pada tahun 2022, produk tersebut dipresentasikan pada KTT G20 di Bali dan menarik perhatian delegasi asing yang tertarik merasakan rasa manis tanpa gula sambil meminum minuman tersebut.
Produk kopi cengkeh dijual di Festival Cirebon 2024. (ANTARA/Fathnur Rohman) Endang dengan bangga mengatakan cita rasa unik tersebut berasal dari proses pemanggangan alami yang memakan waktu 4-9 bulan. Dibuat tanpa gula atau ragi, hanya air sulingan dan coklat.
Selain itu, mereka kini memproduksi kopi kretek untuk kebutuhan diaspora di Korea Selatan yang tidak memiliki masalah tembakau di negaranya.
Endang juga mengikuti berbagai pameran untuk menguji bagaimana produk kopinya dikenal.
Alhasil, minuman yang terbuat dari “batu hitam” Gunung Ciremai ini pernah menduduki peringkat lima besar pada sebuah pameran di Taiwan.
Sejarah Di bawah Gunung Ciremai, kisah kopi telah tertulis berabad-abad, sebelum produk ini menjadi simbol kehidupan modern.
Sejarawan Cirebon Tendi menjelaskan, perkembangan kopi di kawasan Gunung Ciremai dan sekitarnya tidak lepas dari peran pemimpin lokal saat itu yang dikuasai pemerintah kolonial.
Kopi menjadi pilihan utama pihak kolonial setelah pabrik nila terkemuka gagal menghasilkan produk yang efektif untuk pasar.
Pada tahun 1830, ketika Johannes van den Bosch menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, kopi menjadi komoditas ekspor andalan.
Dengan menerapkan sistem tanam paksa, penjajah mewajibkan setiap desa menyediakan 20 persen lahan untuk ekspor, termasuk budidaya kopi.
Sistem ini benar-benar menjadi mesin penghasil uang di Belanda. Pada tahun 1830, keuntungan koloni sebesar 12,9 juta gulden, kemudian dengan cepat melonjak menjadi 74,2 juta gulden pada tahun 1840.
Namun pada tahun 1800-an, masa kejayaan perkebunan kopi mulai meredup, termasuk di kawasan Pegunungan Ciremai. Kemudian produktivitas lahan turun drastis.
Petani memajang biji kopi yang ditanam di kawasan Gunung Ciremai, Kuningan, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. (ANTARA/Fathnur Rohman) Jumlah pohon kopi di kawasan Priangan pun berkurang hingga 39 juta pohon pada tahun 1866. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan 69 juta pohon pada tahun 1855.
Tekanan dari orang-orang merdeka di Belanda semakin meningkat untuk segera menghapuskan sistem tanam paksa, namun pemerintah kolonial tetap teguh mempertahankan sistem tersebut.
Sekitar tahun 1898-1899, menurut laporan di surat kabar Soerabaijasch Handelsblad, pemerintah kolonial mengizinkan penanaman 181.250 pohon kopi baru, 30.300 di antaranya merupakan varietas Liberia.
Ribuan pohon kopi dibawa ke kediaman Cirebon untuk ditanam warga.
Saat itu, total ada 11.922 keluarga di Cirebon dan sekitarnya yang bertani kopi.
Selama beberapa bulan, keuntungan yang diperoleh dari banyaknya cangkir kopi yang dihasilkan mencapai 35.338 gulden. Jika dihitung, pendapatan tiap keluarga saat itu sekitar 3 gulden per tahun.
Alih-alih mendapat untung, impian pemerintah kolonial untuk memenuhi kas negara justru tidak terwujud.
Pertanian paksa di Kabupaten Cirebon mempunyai sejarah kelam. Padahal, persoalan ini sangat penting bagi kegiatan penanaman kopi di kawasan Gunung Ciremai.
Para Petani Kopi Dibalik kepopuleran Arabika dan Robusta, terdapat varietas Liberica yang sedang bangkit kembali di kawasan Kuningan.
Hal ini diprakarsai oleh Taufik Hernawan, seorang pekerja kopi di Desa Cipasung, Kecamatan Darma, Kuningan, yang mencoba mengangkat liberika sebagai simbol daerah.
Liberika pertama kali dibawa ke Pulau Jawa oleh Belanda pada masa tanam paksa untuk menggantikan Arabika yang terserang hama.
Di desa tersebut masih terdapat sisa-sisa perkebunan Belanda dengan banyak pohon yang berumur 80-100 tahun.
Sejak tahun 2017, timnya bertekad untuk mengangkat profil Liberica, meski banyak yang menganggap rasanya lebih menarik dibandingkan kopi lainnya.
Bagi Taufik, hal itu disebabkan cara produksi yang tidak tepat. Ia berhasil menemukan cara yang tepat agar Liberika bisa mengekspresikan cita rasa nangka yang unik.
Biji kopi ditanam di kawasan Gunung Ciremai, Kuningan, Jawa Barat, dahulu kala. (ANTARA/Fathnur Rohman) Mereka pun menyulap kedai sederhana di Cipasung menjadi pusat pembelajaran pariwisata untuk mengenal kopi Liberika lebih dalam.
Untuk mendorong keberlanjutan, kelompok ini juga menggunakan pendekatan swadaya dalam proses penanaman. Benih Liberika dibagikan secara gratis kepada petani lokal untuk pembangunan pertanian kolektif.
Meski kecil, kelompok ini mampu memproduksi 1-2 ton liberika per tahun, sebagian besar dalam bentuk biji panggang dan tepung.
Meski jumlah produksinya sedikit, permintaan di pasar Liberia sudah tinggi, dan peminatnya terus bertambah.
Yayasan
Kabupaten Kuningan sebenarnya mempunyai potensi besar untuk menghasilkan kopi berkualitas tinggi yang mampu bersaing di pasar nasional dan internasional. Namun upaya tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Dadan M. Ramdani, Ketua Umum Asosiasi Petani Kopi Indonesia (APEKI) Kuningan memahami permasalahan tersebut dan berupaya menjangkau para petani kopi di wilayahnya untuk bersatu mencapai visi besar tersebut.
Sejak awal tahun 2024, Dadan memulai perjalanannya dengan membangun institusi yang kuat sebagai landasan mewujudkan mimpi besar tersebut.
Hal ini penting, karena di wilayah tersebut terdapat 32 jenis kopi dalam negeri yang masing-masing memiliki kekhasan tersendiri.
Tidak mudah untuk menyatukan semuanya. Masing-masing dari mereka memiliki banyak ego, tetapi lambat laun mereka akur.
Langkah selanjutnya, APEKI Kuningan mengumpulkan data perkembangan kopi, mulai dari jenis tanah hingga panen tahunan, yang semuanya didokumentasikan dengan cermat.
Data ini mungkin penting untuk identifikasi kopi Kuningan yang harus diakui dalam bentuk sertifikat Indikasi Geografis (GI).
Dengan sertifikat ini, kopi Kuningan akan mempunyai “tanda”. Selain itu, biji kopi dari daerah ini merambah ke berbagai wilayah di Jawa Barat, bahkan Jawa Timur.
Petani menjemur kopi di Desa Karangsari, Kuningan, Jawa Barat. (ANTARA / Fathnur Rohman) Tanpa sertifikasi IG, kopi ini ibarat berlian tersembunyi, karena belum dikenal sebagai produk berkualitas dari Kuningan.
Dengan dukungan BI, upaya mereka untuk mengajukan permohonan biji kopi GI dan Kuningan langsung mendapat pengakuan.
Pengalaman Dadan dalam uji rasa memperkuat hasratnya terhadap kualitas. Setelah mengikuti berbagai kursus, ia memahami sepenuhnya bahwa setiap rasa yang dihasilkan dari biji kopi Kuningan memiliki keunikan tersendiri.
Misalnya kopi Arabika yang kompleks dan berkarakter, namun kurangnya kopi membuat varietas ini tidak bisa dijual dalam jumlah banyak.
Sebaliknya, Robusta yang tumbuh di ketinggian 1.000-1.200 meter di atas permukaan laut, jika diolah dengan cara lain, mampu memberikan cita rasa yang mendekati arabika.
Selain itu, Kuningan liberica yang memiliki aroma nangka dan rasa buah kini banyak diminati para pecinta kopi.
APEKI Kuningan terus bereksperimen dengan berbagai metode produksi, mulai dari rendaman penuh hingga perebusan.
Beberapa contoh biji kopi yang diproduksi secara organik bahkan berhasil merebut hati konsumen internasional. Hal ini menunjukkan bahwa produk Kuningan sangat diminati.
Secara ekonomi, kopi Kuningan menawarkan peluang besar bagi petani. Harga Liberica misalnya bisa mencapai Rp 200 ribu per kilogram.
Advokasi Pandemi COVID-19 memperlambat perjalanan dan menekan perekonomian di desa Karangsari di Kuningan.
Di masa sulit ini, Dadan dan sekelompok petani kopi menanam mimpi baru melalui pendirian koperasi bernama Destana Coffee.
Ia bertekad mulai belajar dari awal, membuat kopi meski dengan peralatan terbatas.
Perjalanan Destana Coffee berubah ketika kantor perwakilan BI Cirebon (KPw) hadir di penghujung tahun 2021. BI sebagai perwakilan negara tidak hanya datang, namun membantu menjalankan organisasi, memberikan pelatihan mulai dari penanaman hingga panen, serta mendukung promosi. yang telah merambah ke pasar digital.
Pergerakan mereka menjadi teratur. Nama koperasi semakin meningkat, dan pada tahun 2022 BI juga akan menyalurkan dukungan penguatan rantai hilir. Bantuan tersebut disalurkan sebanyak dua kali, sebesar Rp500 juta.
Dengan dukungan tersebut, kini gedung koperasi dapat berdiri di atas 40 batu bata, dengan tiga buah panel surya yang didukung oleh Kementerian Pertanian.
Presiden APEKI Kuningan Dadan M. Ramdani saat pameran kopi di Desa Karangsari, Kuningan, Jawa Barat, untuk terakhir kalinya. (ANTARA/Fathnur Rohman) Dengan panel surya, pengeringan biji kopi bisa dilakukan dengan cepat, hanya 7 hingga 4 hari.
Setiap bulannya, kerja sama ini mampu menghasilkan penjualan kotor hingga Rp 20 juta.
Koperasinya stabil, 30 petani menggarap perkebunan kopi seluas 15-20 hektar. Melalui perjanjian itu, proses bagi hasil menjadi jelas, aturannya ditegaskan.
Dede Rokhanda, seorang pekerja di Desa Karangsari, menyatakan hal serupa, mengatakan bahwa mendorong ekonomi kopi telah menjadi salah satu cara mengatur warga.
Dalam setiap langkahnya, mulai dari memetik, mengupas, mengeringkan, menyortir biji kopi, koperasi ini fokus pada pekerja lokal.
Sebagian besar perempuan setempat yang terlibat dalam proses pemilahan dibayar Rp 2.000 per kilogram biji kopi yang telah disortir.
Skema ini memberikan penghasilan tambahan bagi keluarga, sekaligus mendorong partisipasi dalam perekonomian masyarakat.
Pemerintah Desa Karangsari berencana mengembangkan kawasan “Pasir Batang” sebagai objek wisata belajar ngopi.
Chokopa adalah perkebunan kopi Belanda. Tur ini juga memberikan informasi langsung kepada pengunjung untuk melihat dan mempelajari proses kopi mulai dari ladang hingga siap dibuat menjadi cangkir.
Kolaborasi Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Kuningan (Diskatan) memperkirakan total produksi kopi di wilayah tersebut mencapai 496,88 ton pada tahun 2023.
Kopi Kuningan terbanyak berasal dari varietas Robusta sebanyak 471,66 ton. Sementara kopi Arabika menyusul dengan 25,22 ton.
Kepala Kantor Kabupaten Kuningan Wahyu Hidayah mengatakan sekitar 55 persen dari seluruh kopi Robusta diambil oleh kabupaten lain di Provinsi Jawa Barat, seperti Ciamis dan Garut.
Dengan kualitas yang baik, kopi Robusta Kuningan bisa diekspor. Sebaliknya, sebagian petani menjadi pemasok ke pemasok di negara lain, seperti Amerika dan Turki.
Pihaknya memprioritaskan areal perkebunan kopi, sehingga produksinya meningkat pada akhir tahun 2024.
Petani melakukan aksi pembakaran di koperasi Destana Mandiri, Kuningan, Jawa Barat. (ANTARA/Fathnur Rohman) Diskatan juga bermitra dengan BI Cirebon untuk mempromosikan merek kopi spesialti Mount Ciremai melalui label IG.
Tahun ini BI melakukan penelitian di sembilan lokasi, tiga titik di Majalengka dan enam di Kuningan.
Hasilnya menunjukkan bahwa potensi produksi kopi di kedua wilayah tersebut sangat tinggi, karena lingkungan yang mendukung pertumbuhan pohon kopi.
Di Desa Bantaragung dan Desa Payung Kabupaten Majalengka juga terdapat lahan tandus yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya kopi.
Khusus di Majalengka, pemerintah mendukung petani dengan biji kopi gratis. Pendistribusian benih Arabika dan Robusta dimulai pada tahun 2023.
Pemerintah Kabupaten Majalengka memperkirakan produksi kopi mencapai 60-70 ton per tahun, sebagian besar berasal dari daerah potensial seperti Kecamatan Lemahsugih, Bantarujeg, Malausma, dan Argapura. komitmen BI
Kantor Perwakilan BI Cirebon (KPw) sangat mendorong UMKM di wilayah Ciayumajakuning untuk naik kelas. Hingga Mei 2024, sudah lebih dari 300 pengusaha diterima menjadi mitra.
Direktur KPw BI Cirebon Anton Pitono menegaskan, produk UMKM Ciayumajakuning tidak hadir di kancah nasional, namun bisa menjangkau seluruh pasar.
Untuk mencapai tujuan tersebut, BI telah melaksanakan berbagai program pelatihan dan pendampingan, mulai dari pengembangan keterampilan bisnis hingga pembuatan font yang indah.
BI kerap membantu para pengusaha untuk mempresentasikan produknya di berbagai pameran terkemuka, nasional maupun internasional. Jualan kopi dari seorang petani yang berjualan ke Gerakan Pangan Murah (GPM) di Majalengka, Jawa Barat beberapa waktu lalu. (ANTARA/Fathnur Rohman) Kerjasama dengan pemerintah daerah juga didorong melalui program business match, membuka peluang bagi UMKM untuk terhubung dengan pelanggan dan calon investor.
BI Cirebon juga menggelar Ciayumajakuning Entrepreneur Festival 2024. Ajang ini menjadi langkah 114 pelaku UMKM untuk unjuk gigi, menunjukkan keahlian dan kemampuannya, termasuk para wirausaha di bidang kopi.
BI melihat masa depan UMKM cerah. Berbagai program ini dilaksanakan untuk membantu pengusaha lokal menjangkau pasar internasional.
Kerja sama dan komitmen BI juga membuka jalan bagi Kopi Gunung Ciremai untuk bersinar secara global.
Leave a Reply