Kabar Harapan

Memberikan Informasi Terupdate Dalam Negri & Luar Negri

Ekonom: Keanggotaan BRICS naikkan daya tawar RI di depan OECD

Jakarta (ANTARA) – Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai keanggotaan Indonesia di BRICS dapat meningkatkan daya tawar Indonesia terhadap anggota OECD.

“Indonesia semakin terlibat dalam lingkaran ekonomi yang dinamis dan mewakili lebih dari 50 persen PDB dunia berdasarkan paritas daya beli (PPP),” kata Wijayanto saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.

Diketahui, Indonesia telah mengirimkan surat pernyataan ketertarikan yang menunjukkan langkah-langkah formal untuk mendaftar menjadi anggota BRICS pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus pada 23-24. pada bulan Oktober 2024 di Kazan, Rusia.

Menurut Wijayanto, BRICS berpotensi meningkatkan nilai ekspor dan investasi Indonesia. Pasalnya, keanggotaan BRICS dapat membuka peluang pasar ekspor baru, terutama bagi negara seperti Brazil dan Afrika Selatan.

Keanggotaan BRICS dapat membantu mendiversifikasi pasar ekspor Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada pasar tradisional.

Langkah ini akan membuat Indonesia lebih tangguh dalam menghadapi ketidakstabilan ekonomi global dan positif dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen.

“Tetapi untuk mencapai 8 persen sepertinya sangat sulit. Dana Moneter Internasional (IMF) sendiri memperkirakan pertumbuhan ekonomi kita pada tahun 2019 hanya berkisar 5 persen, utang yang berlebihan menjadi salah satu penyebab utamanya,” jelasnya.

Selain itu, Wijayanto mengatakan, keanggotaan Indonesia di BRICS dapat menjadi penyeimbang ambisi de-dolarisasi negara-negara BRICS. Di dalam BRICS sendiri, saat ini terdapat dua kelompok yang mempunyai pandangan berbeda mengenai dedolarisasi.

Kelompok negara pertama yang ingin mengakhiri peran dolar AS sebagai mata uang global adalah Tiongkok dan Rusia.

Kemudian kelompok lainnya, yaitu kelompok negara yang berpandangan moderat, yang ingin membangun sistem pembayaran dan mendorong penggunaan mata uang lokal untuk ekspor dan impor, salah satunya adalah India.

“Indonesia harus memperkuat kelompok moderat dan menjadi jembatan dengan OECD. Penggantian dolar AS hanyalah sebuah ilusi, namun mengurangi dominasinya dan meningkatkan peran mata uang lokal juga merupakan solusi menuju sistem moneter dunia yang lebih stabil dan adil. sebagai mendorong stabilitas rupee,” jelasnya.

Sementara itu, Mohammad Faisal, direktur eksekutif Center for Economic Reform (CORE), berpendapat bahwa Indonesia lebih cocok untuk bergabung dengan kelompok BRICS dibandingkan dengan OECD.

Pasalnya, karakteristik dan kepentingan ekonomi negara-negara BRICS lebih sesuai dengan kondisi Indonesia dibandingkan negara berkembang.

“BRICS jelas lebih cocok bagi saya dibandingkan OECD, karena OECD merupakan kumpulan negara-negara maju yang karakteristiknya sangat berbeda dengan kita, kepentingannya dalam konteks ekonomi maju dan tentunya berbeda dengan negara berkembang,” kata Faisal. .

Ia mengatakan BRICS menawarkan lebih banyak kesamaan yang dapat mewakili kepentingan negara-negara berkembang.

Di saat yang sama, ia juga menyarankan agar pemerintah harus terus melakukan perhitungan ekonomi secara matang sebelum memutuskan bergabung dengan kelompok internasional seperti BRICS atau OECD.

“Indonesia masih perlu melakukan kalkulasi sebelum mengambil keputusan, jadi kalkulasi ekonominya adalah apa manfaatnya dari segi perdagangan dan investasi, kalau kita mau ekspor, ekspor seperti apa yang harus dijadikan dasar dan apa yang harus didorong, dan apakah ada. potensi impor, maka harus diramalkan yang mana dan strategi apa,” tutupnya.

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri RI Sugiono mengatakan langkah Indonesia menjadi anggota BRICS merupakan perwujudan politik luar negeri dalam negeri yang berlandaskan nilai bebas aktif. Indonesia menilai negara-negara BRICS merupakan sarana yang tepat untuk memajukan kepentingan negara-negara Global Selatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *