Kabar Harapan

Memberikan Informasi Terupdate Dalam Negri & Luar Negri

Memahami gejala dan faktor risiko tumor hipofisis

Jakarta (ANTARA) – Tumor hipofisis merupakan pertumbuhan abnormal kelenjar hipofisis di dasar otak yang dapat didiagnosis dengan gejala sakit kepala, gangguan penglihatan, dan perubahan struktur wajah.

Kelenjar pituitari berperan penting dalam mengatur berbagai hormon yang mempengaruhi banyak fungsi tubuh, mulai dari pertumbuhan hingga metabolisme.

Dokter Spesialis Bedah Saraf di Rumah Sakit Siloam Lippo Village Karawaci Prof. Dr. Dr. Julius July, Sp.BS (K) Onk, MKes, IFAANS menjelaskan tumor hipofisis bisa jinak atau ganas, namun sebagian besar kasusnya adalah tumor jinak yang tidak menyebar ke bagian tubuh lain.

“Gejala yang dialami penderita tumor hipofisis bervariasi sesuai dengan ukuran dan lokasi tumornya,” kata Prof Julius dalam siaran persnya, Senin.

Ia menambahkan, “Gejala yang paling umum adalah gangguan penglihatan, terutama kebutaan perifer, yang terjadi akibat tekanan tumor pada saraf optik.”

Sakit kepala merupakan keluhan yang biasanya menjadi gejala pertama yang dihadapi pasien. Selain itu, pasien juga sering melaporkan perubahan hormonal dan gejala menstruasi tidak teratur pada wanita serta penambahan berat badan.

Faktor risiko dan diagnosis

Faktor risiko yang mungkin berkontribusi terhadap perkembangan tumor hipofisis termasuk usia dan jenis kelamin. Tumor ini biasanya terjadi pada orang dewasa berusia 30 hingga 50 tahun.

Wanita lebih rentan terkena tumor hipofisis dibandingkan pria. Meskipun kondisi ini dapat terjadi pada kedua jenis kelamin, perbedaan ini mencerminkan efek hormonal yang mungkin berkontribusi terhadap pertumbuhan tumor.

Difusi tumor hipofisis sangat umum terjadi, mewakili sekitar 10-15 persen dari seluruh tumor otak. Meskipun penyakit ini menyerang laki-laki dan perempuan, prevalensi lebih tinggi terjadi pada perempuan, terutama pada kelompok usia lebih tua.

Dijelaskan oleh Prof. Julius bahwa proses diagnosis tumor hipofisis meliputi beberapa langkah penting. Pertama, dokter akan melakukan tes darah untuk mengukur kadar hormon, yang dapat mengindikasikan adanya ketidakseimbangan hormon.

Selanjutnya, pencitraan otak seperti MRI atau CT scan untuk memeriksa keberadaan dan ukuran tumor. Pemeriksaan visual juga penting untuk mengetahui efek tumor saraf optik.

Membedakan tumor hipofisis dengan tumor otak lainnya dilakukan melalui pencitraan dan analisis histopatologi. Dokter akan mempertimbangkan lokasi, ukuran dan karakteristik tumor pada gambar MRI atau CT scan, yang biasanya memiliki ciri-ciri tertentu.

Pengobatan tumor hipofisis dapat dilakukan melalui metode bedah dan non bedah. Pembedahan seringkali diperlukan untuk mengangkat tumor, terutama jika tumor tersebut menimbulkan gejala yang parah atau berpotensi menjadi ganas.

Perawatan non-bedah, seperti terapi hormon dan radiasi, juga dapat dipertimbangkan, tergantung pada kondisi spesifik pasien dan sifat tumornya. Dua ahli dari RS Karawaci Siloam Lippo Village, Prof. Dr. Dr. Julius July, Sp.BS(K) Onk, MKes, IFAANS selaku dokter bedah saraf dan dr. Michael, Sp.THT-KL sebagai dokter spesialis THT. (ANTARA/HO-RS Siloam)

Desain EETS

Sebuah inovasi dalam pengobatan tumor hipofisis adalah EETS (Endoscopic Endonasal Transphenoidal Surgery), yaitu operasi non-invasif yang dilakukan melalui hidung dan sinus.

Prosedur ini memungkinkan akses mudah ke tumor dengan risiko lebih kecil dan waktu pemulihan lebih cepat. Prosedur ini meminimalkan trauma pada jaringan di sekitarnya dan biasanya memberikan hasil yang lebih baik.

Dalam prosedur EETS, dokter spesialis THT memegang peranan penting. Mereka bertanggung jawab untuk mempersiapkan jalan mencapai hidung dan sinus serta membantu melihat area tumor.

EETS memiliki banyak keunggulan dibandingkan bedah konvensional. Misalnya, risikonya lebih kecil karena teknik invasif minimal mengurangi kerusakan jaringan di sekitar tumor, sekaligus mengurangi komplikasi pasca operasi.

Selain itu, pemulihan pasien setelah operasi akan lebih cepat dan tidak terlalu menyakitkan dibandingkan dengan prosedur konvensional.

Meskipun EETS relatif aman, risiko dan komplikasi tetap ada. Infeksi merupakan salah satu risiko yang dapat terjadi setelah operasi, begitu pula dengan perdarahan yang dapat terjadi selama dan setelah prosedur.

Gangguan penglihatan juga menjadi perhatian, karena letak tumor di dekat saraf optik.

Setelah melakukan EETS, pasien menjalani proses pemulihan di rumah sakit. Rata-rata lama rawat inap di rumah sakit adalah antara satu hingga tiga hari, tergantung kondisi pasien dan komplikasi yang mungkin timbul.

Kolaborasi antara tim dokter multidisiplin, termasuk neurologi, endokrinologi, bedah saraf, dan THT, sangat penting dalam penatalaksanaan pasien tumor hipofisis. Sejauh ini, tim multispesialis RS Siloam Lippo Village Karawaci telah menangani lebih dari 80 kasus kanker hipofisis.

“Tumor hipofisis merupakan kondisi kompleks dengan dampak kesehatan yang berbeda-beda. Masyarakat harus lebih mewaspadai gejala awal dan pentingnya memeriksakan apakah memiliki gejala yang mencurigakan,” jelas Dr. Michael, Sp.THT-KL selaku dokter spesialis THT di Siloam Hospital Lippo Village.

“Diagnosis yang benar dan pengobatan yang tepat waktu dapat memberikan perbedaan besar pada hasil pengobatan dan kualitas hidup pasien,” pungkas Dr. Michael.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *