Jakarta (Antara) – Presiden Persatuan Transportasi Indonesia (MTI) Jakarta Yusa Kehiya Permana mengatakan tingginya kemacetan masyarakat kini tidak hanya terjadi pada pagi dan siang hari, tetapi juga pada malam hari, salah satunya karena mereka melakukan perjalanan. Mereka melakukan banyak tujuan.
“Sekarang mulai terjadi, waktu tersibuk di jalan raya adalah pada siang dan malam hari karena masyarakat berpindah antar tempat kerja untuk transportasi, berpencar dari pusat perbelanjaan pada siang hari dan juga malam hari,” ujarnya. Dalam debat di Jakarta, Selasa.
Situasi ini berbeda dengan masa lalu. Dulu, tempat ini ramai dikunjungi orang yang berangkat kerja pada pagi hari dan pulang pada sore hari.
Oleh karena itu, menurut Amerika Serikat, penyedia jasa angkutan umum harus memastikan layanannya tersedia mengikuti tren ini untuk menghindari potensi pengguna angkutan umum.
“Jadi kalau pelayanannya hanya pagi dan sore saja, ada pengguna yang punya kemampuan untuk memanfaatkannya dan tidak mendapatkan pelayanan yang baik, lalu bagaimana jadinya jika nanti mereka mengendarai kendaraan pribadi karena layanan ini tidak tersedia? Sesuai kebutuhan yang berubah,” ujarnya.
Amerika Serikat menekankan pentingnya penelitian dan perspektif tren dalam menentukan kebijakan penyediaan layanan transportasi umum.
Jadi kita harus lihat ke depan trennya seperti apa, bukan hanya bereaksi saja. Kalau reaksi pasti harganya naik, ujarnya.
Ia mengatakan, jumlah pergantian moda angkutan umum tidak boleh melebihi tiga kali dalam satu perjalanan. Hal ini untuk mengurangi tingkat stres para penggunanya.
Menurut Amerika Serikat, berjalan kaki di antara angkutan umum membuang-buang waktu, tenaga, dan pikiran. Selain itu, tingkat stres pengguna angkutan umum terjadi ketika mereka menuju tempat tunggu, menunggu kendaraan sendiri, dan proses pengangkutan.
Jadi maksimalnya bisa tiga, idealnya tidak tiga. Karena kalau sampai tiga, masyarakat justru akan melambat (naik angkutan umum), ujarnya.
Leave a Reply