JAKARTA (Antara) – Jika pariwisata massal menarik wisatawan dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya, menghabiskan sumber daya lokal, dan menciptakan tumpukan sampah, seberapa jauhkah destinasi tersebut di masa depan?
Dan seberapa besar keinginan wisatawan untuk berkontribusi dalam mempertahankan manfaat jangka panjang dari suatu destinasi wisata ketika mereka berkunjung? Jawaban atas pertanyaan ini akan mempengaruhi arah pariwisata berkelanjutan.
Faktanya, pariwisata berkelanjutan tidak terjadi begitu saja kemarin sore.
Pariwisata berkelanjutan muncul pada tahun 1980an sebagai sebuah konsep yang menentang perjalanan acak dan tidak peduli terhadap dampak negatif terhadap kehidupan alam dan sosial masyarakat lokal.
Jadi konsep berwisata ini tidak hanya sekedar bersenang-senang saja, namun juga memikirkan dampak kegiatan pariwisata terhadap banyak aspek terutama terhadap bisnis dan perekonomian masyarakat lokal, kehidupan sosial budaya dan lingkungan alam setempat.
Padahal, saat itu konsep tersebut baru mulai populer pada tingkat diskusi di kalangan terbatas pengamat dan ilmuwan, jelas Wiwik Mahdayani, pakar pariwisata berkelanjutan di Desma Center.
Perlunya pariwisata berkelanjutan telah disadari oleh masyarakat internasional pada tahun 2015 di bawah naungan Poin 8 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) “Pekerjaan yang Layak dan Pembangunan Ekonomi”.
Setelah itu, penerapan prinsip keberlanjutan mulai mendapat skala besar dalam ekosistem pariwisata di Indonesia. Peraturan formal ditetapkan pada tahun 2016 melalui Peraturan Menteri Pariwisata, yang kemudian diubah pada tahun 2021 dengan Peraturan Menteri Pariwisata dan Industri Kreatif.
Sebagai sebuah konsep, pariwisata berkelanjutan dapat diterapkan pada berbagai kegiatan pariwisata. Namanya wisata pertanian, wisata edukasi, wisata olah raga dan lain-lain. Juga untuk pariwisata di desa dan kota.
Menurut Wiwik, banyak destinasi yang menerapkan pariwisata berkelanjutan adalah tempat wisata di cagar alam. Banyak juga kawasan wisata desa di dekat masyarakat.
Sumber daya di wilayah pedesaan, terlepas dari apakah mereka terdaftar sebagai kawasan lindung atau tidak, relatif lebih banyak tersedia dan konsisten dengan konsep berkelanjutan.
Langkah yang bisa dilakukan para pemangku kepentingan pariwisata sebenarnya sederhana saja, yaitu mengelola sampah dan mengelola sumber daya di sekitar untuk memberikan nilai tambah.
Kemenparekraf menyebut beberapa di situs resminya: Taman Nasional Baloran di Jawa Timur, Taman Nasional Ajing Kowloon di Banten, Hutan Singa Bandar di Bali, Panti Keo di Pelembang, dan Ambool Ponggok di Kalatan.
Permintaan konsumen penting, masalah bisnis
Wiwik telah berkomitmen terhadap pariwisata cerdas dan bertanggung jawab sejak tahun 2002 dan dengan merebaknya pandemi ini, kami melihat tren menuju praktik pariwisata berkelanjutan semakin cepat.
Memang benar bahwa COVID-19 memaksa pemangku kepentingan pariwisata dan wisatawan, secara sadar atau tidak sadar, untuk menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Pariwisata massal harus “dikurangi” karena pembatasan yang besar dan digantikan dengan pariwisata yang berkualitas.
Sesuai dengan keterbatasan situasi, keinginan wisatawan juga tersedia bagi mereka. Pariwisata dipandang perlu untuk memberikan keamanan dan kenyamanan kepada wisatawan, tanpa memperhatikan tanah dan alam, kepada penduduk setempat.
“Konsumen, wisatawan, dan masyarakat adalah pemimpin pariwisata berkelanjutan. Banyak perusahaan pariwisata didorong untuk mengambil tindakan berkelanjutan berdasarkan permintaan konsumen,” kata Wike.
Dalam Outlook Pariwisata dan Industri Kreatif 2023/2024 yang dirilis Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif akhir tahun lalu, 56,76 persen ahli sepakat bahwa pariwisata ramah lingkungan menjadi tren yang populer.
Bagi para pengusaha pariwisata, khususnya di perkotaan, investasi awal untuk menerapkan prinsip pariwisata berkelanjutan tidak akan murah. Padahal, modal tidak hanya berupa uang, namun juga berupa modal pengetahuan.
Kabar baiknya, kata Wieck, perusahaan dengan modal tersebut akan mampu mencapai efisiensi sumber daya di masa depan. Biaya operasional bisnis hotel dan restoran bisa ditekan.
Konservasi energi melatarbelakangi upaya hotel dan restoran menerapkan prinsip berkelanjutan, seperti penggunaan bola lampu hemat energi dan model bangunan ramah lingkungan yang tidak memerlukan banyak AC.
Di sisi lain, hanya sisa makanan olahan yang bisa dijadikan pupuk tanaman di pekarangan, penyediaan dispenser air minum juga bisa mengurangi sampah plastik.
Prinsip keberlanjutan memungkinkan adanya rantai nilai yang panjang bagi seluruh ekosistem pariwisata. Banyak produk dan jasa bergerak dan perekonomian berputar dalam rantai ini.
Rantai nilai dimulai dari wisatawan yang merencanakan tur, tinggal di antara perjalanan, melakukan aktivitas di tempat tujuan, dan kembali ke rumah.
Dulu, kata Wiwik, ketika prinsip ini belum banyak diketahui, banyak pembangunan hotel, resor, atau kawasan wisata terpadu yang memisahkan perusahaan dengan masyarakat setempat.
Prinsip berkelanjutan memastikan bisnis pariwisata tidak dijalankan secara eksklusif, namun melibatkan komunitas lokal. Singkatnya, semua pihak terlibat.
Mempertimbangkan semua potensi manfaat ini, baik bagi destinasi, pebisnis, penduduk, maupun wisatawan, pekerjaan rumahnya saat ini adalah untuk lebih mempromosikan pariwisata berkelanjutan.
Semakin banyak kita berbicara tentang pariwisata berkelanjutan, semakin banyak orang yang sadar dan sadar akan prinsip ini. Jangan lupa, di saat yang sama, kinerja para pelaku di lingkungan pariwisata juga harus ditingkatkan.
Saat ini dan di masa depan, pariwisata berkelanjutan bukan lagi sebuah gaya hidup, namun sebuah kebutuhan untuk menjamin masa depan planet ini.
Redaktur: Ahmad Zainal M
Leave a Reply