MOSKOW (ANTARA) – Pemimpin oposisi bersenjata yang mengambil alih kekuasaan di Suriah, Ahmed al-Sharaa (dikenal sebagai Abu Muhammad al-Julani), menyatakan tidak akan membiarkan negara itu dijadikan titik awal serangan terhadap Israel.
“Kami tidak ingin ada konflik, baik dengan Israel atau pihak lain, dan kami tidak akan membiarkan Suriah digunakan sebagai landasan serangan,” katanya kepada The Times.
“Rakyat Suriah perlu istirahat, dan serangan harus dihentikan dan Israel harus kembali ke posisi semula,” tegasnya.
Menurut al-Sharaa, Israel harus meninggalkan wilayah Suriah yang direbut setelah pembebasan Presiden Bashar Assad, karena “tidak ada pembenaran” atas tindakan Israel terhadap anggota Hizbullah dan tentara Iran.
“Kami berkomitmen pada perjanjian tahun 1974 dan kami siap mengembalikan [pengurus] PBB,” tambahnya.
Selain itu, al-Sharaa meminta negara-negara lain untuk mencabut sanksi yang dijatuhkan terhadap Suriah pada masa rezim Assad.
“Suriah sangat penting di kawasan ini. Mereka harus mencabut semua pembatasan yang diberlakukan terhadap para korban dan para korban – tidak ada lagi korban. Masalah ini sedang dalam negosiasi,” katanya.
Pada tanggal 8 Desember, oposisi militer Suriah berhasil merebut ibu kota Suriah, Damaskus.
Beberapa hari kemudian, para pejabat Rusia mengatakan bahwa Assad telah mengundurkan diri sebagai presiden setelah melakukan pembicaraan dengan pihak-pihak yang terlibat konflik. Assad kemudian meninggalkan Suriah menuju Rusia. Dia menerima suaka di negara itu.
Kemudian pada 10 Desember, Mohammed al-Bashir, yang memimpin pemerintahan di Idlib yang diorganisir oleh beberapa kelompok oposisi, diangkat menjadi perdana menteri sementara.
Sumber: Sputnik-OANA
Serangan udara Israel menargetkan gudang senjata militer Suriah
Leave a Reply