JAKARTA (ANTARA) – Pemerintah Indonesia memperjuangkan standar ketenagakerjaan perikanan (Conservation and Management Measure (CMM) of Personnel Labor Standards) pada acara tahunan Global Tuna Meeting Western (WCPFC 21) Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC 21) di Suva, Fiji.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap (KKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Lotharia Latif menjelaskan, upaya Indonesia pada pertemuan internasional tersebut disebabkan tingginya kasus pekerja di kapal ikan oleh WNI yang menderita. hak asasi Manusia. Pelanggaran selama bekerja di kapal asing.
“Kami menemukan banyak pelanggaran, termasuk upah yang tidak dibayarkan, perlakuan buruk di kapal, yang menjadi perhatian pemerintah dan kami bawa ke tingkat internasional,” kata Latif dalam keterangannya di Jakarta. Rabu.
Indonesia mengikuti perjuangan ini dari sesi WCPFC17 tahun 2020, yang didukung oleh sebagian besar negara anggota WCPFC.
Akhirnya dibentuklah Intersessional Working Group yang diketuai bersama oleh Indonesia dan Selandia Baru sebagai perwakilan Fisheries Forum Agency (FFA) atau Pacific Region Countries Forum.
Latif mengatakan perjuangan Indonesia akan berlangsung lama. Pembahasan usulan Indonesia dalam WCPFC Intersessional Working Group berlangsung selama 4 tahun dan akhirnya dapat mengakomodasi pandangan dan kompromi seluruh negara anggota.
“Adopsi CMM disambut baik oleh negara-negara anggota WCPFC dan para pengamat karena WCPFC merupakan Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional (RFMO) pertama yang menyetujui dan mengadopsi standar kerja staf CMM,” jelasnya.
CMM akan mulai berlaku pada 1 Januari 2028 untuk memberikan waktu kepada negara-negara anggota WCPFC untuk mengadopsi aturan tersebut menjadi peraturan nasional. Implementasi CMM mengatur tentang kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara bendera yang tergabung dalam WCPFC.
Hal-hal yang harus dilaksanakan antara lain kondisi kerja dan upah yang layak, kontrak yang transparan dan adil bagi pihak-pihak yang terlibat, perlakuan terhadap anak buah kapal yang mengalami luka berat, terjatuh ke laut atau meninggal di kapal penangkap ikan.
Lebih lanjut, ketentuan ini mengatur tata cara dan jalur komunikasi untuk memudahkan kontak dan koordinasi dengan staf penyedia dan anggota keluarga dekat.
CMM menunjukkan komitmen besar negara-negara anggota WCPFC tidak hanya dalam memperhatikan kelestarian sumber daya perikanan namun juga standar keselamatan awak kapal.
Indonesia berpartisipasi dalam serangkaian pertemuan Komite Keuangan dan Tata Kelola (FAC18) dan Komisi Perikanan Pasifik Barat dan Tengah (WCPFC21) pada tanggal 27 November hingga 3 Desember 2024 di Suva, Fiji.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Ketua Pusat Penelitian Perikanan – Brin, Pokja Perikanan dan Pengelolaan Sumber Daya Laut Dalam oleh Putuh Sudela, yang beranggotakan perwakilan Direktorat Perlindungan WNI Kementerian. Peneliti dari Luar Negeri, Kantor Humas dan Kerjasama Luar Negeri KKP dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Sebelumnya, dalam beberapa kesempatan, Menteri Kelautan dan Perikanan Shakti Vahyu Trenggono menegaskan komitmennya untuk meningkatkan perlindungan dan standar kerja sektor perikanan di dalam dan luar negeri.
“Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kontrak karya di laut sepenuhnya menjadi milik awak kapal penangkap ikan. Rekrutmen pekerja tidak boleh asal-asalan. “Selain itu, peningkatan keterampilan juga merupakan salah satu cara untuk memutus rantai perbudakan di kapal nelayan,” kata Trenggono.
Leave a Reply