Kabar Harapan

Memberikan Informasi Terupdate Dalam Negri & Luar Negri

Mengupas beauty privilege dan stereotipe moralitas dalam “Wicked”

JAKARTA (ANTARA) – Diadaptasi dari panggung Broadway hingga layar lebar, musikal Wicked menyuguhkan cerita yang tak hanya menghibur namun juga menginspirasi refleksi mendalam terhadap isu-isu sosial termasuk keindahan, prasangka, dan stereotip. Bercerita tentang dua karakter klasik dari dunia Oz, Glinda the Good Witch dan Elphaba the Wicked Witch, film ini menawarkan interpretasi baru terhadap karakter yang sudah lama dikenal penonton.

Di dunia Wicked, Glinda dan Elphaba adalah dua gambaran yang menarik dan kontras. Glinda adalah karakter fantasi klasik yang sempurna: cantik, karismatik, dan populer. Penampilannya yang sempurna dan warnanya yang serba pink membuatnya mudah diterima masyarakat. Dan Elphaba, yang terlahir dengan kulit berwarna hijau – simbol fisik yang mencolok dan dianggap “tidak normal” – sering menjadi sasaran ejekan dan pengucilan, padahal dia adalah orang yang cerdas, mandiri dengan hati yang penuh keberanian dan kebaikan. niat.

Glinda mencerminkan konsep beauty privilese, dimana seseorang yang memenuhi standar kecantikan memiliki akses lebih mudah terhadap pengakuan sosial, status, dan bahkan kekuasaan. Dalam film ini, Glinda yang diperankan secara sempurna oleh Ariana Grande kerap mendapat pujian, dukungan, dan kepercayaan, meski tindakannya tidak selalu benar dan adil. Sebaliknya, Elphaba (Cynthia Eriva), meski berbakat dan tulus, menghadapi prasangka karena penampilannya tidak memenuhi standar kecantikan.

Stereotip mengenai hubungan antara struktur tubuh dan moralitas juga menjadi tema utama. Dalam banyak cerita klasik, karakter dengan penampilan “tidak menarik” sering kali dikaitkan dengan kejahatan. Film ini menghancurkan stereotip tersebut dengan menjadikan Elphaba, Penyihir Jahat dari Barat, seorang pahlawan wanita yang kompleks dan simpatik. Perjalanan Elphaba dari seorang gadis marginal hingga menjadi sosok yang kuat menginspirasi kita untuk mempertanyakan bias-bias yang sering kita gunakan saat menilai seseorang.

“Benarkah orang cantik selalu baik dan berbakat?”

Salah satu yang menarik dari “Wicked” adalah soundtracknya yang indah dan fasih. Lagu-lagu seperti “Defying Gravity” dan “Popular” tidak hanya menggugah emosi, tetapi juga menyampaikan pesan-pesan penting pemberdayaan kepada pendengarnya, terutama perempuan.

Misalnya, “Defying Gravity” adalah seruan untuk melepaskan diri dari batasan yang diberlakukan oleh masyarakat. Dengan liriknya, “Sesuatu Berubah dalam Diriku, Ada yang Salah,” Elphaba menginspirasi pemirsa untuk berani menjadi diri sendiri, melawan ketidakadilan, dan mempertanyakan norma-norma yang membatasi. Lagu ini mengajarkan para gadis untuk percaya pada kemampuan mereka, meskipun dunia di sekitar mereka penuh dengan prasangka.

Pada gilirannya, lagu “Populer” yang dinyanyikan Glinda mencerminkan obsesi masyarakat terhadap popularitas dan penampilan. Lagu ini adalah kritik halus terhadap budaya yang dangkal, namun juga menghibur. Cewek yang mendengar lagu ini diajak berpikir tentang arti harga diri yang sebenarnya, melebihi standar kecantikan dan penerimaan sosial.

Lirik lagu-lagu tersebut dapat memberikan dampak positif, membangun rasa percaya diri dan mengajarkan pentingnya keberanian untuk tampil beda. Namun, penerimaan pesan ini sangat bergantung pada usia dan kedewasaan penerimanya.

Setelah menonton video YouTube tentang aktor yang memerankan Glinda menyanyikan “Popular” berulang kali, saya merasa Ariana Grande adalah orang paling lucu yang menyanyikan lagu tersebut sejak Kristin Chenoweth di Broadway.

Sebagai film musikal, Wicked menawarkan visual yang memukau, dunia fantasi yang indah, dan musik yang menakjubkan. Tangan dingin disutradarai oleh John M. Choo sepertinya memadukan nostalgia Step Forward 2 dengan drama adegan Crazy Rich Asians.

Film yang dilengkapi dengan akting apik ini menjadi tontonan mengesankan bagi para pecinta teater musikal maupun penonton baru.

Namun tak bisa dimungkiri durasi narasi yang panjang dan terkadang lambat bisa menjadi tantangan tersendiri bagi pemirsa muda. Anak mungkin bosan dengan adegan dialog panjang atau plot yang membutuhkan makna emosional lebih dalam. Meskipun lagu-lagunya menarik, transisi antara dialog dan adegan musikal terkadang terlihat terlalu dramatis, sehingga dapat mengurangi daya tarik film tersebut bagi anak-anak yang lebih menyukai aksi atau cerita yang bertempo cepat.

Selain itu, pesan moral yang kompleks dan tema sosial yang mendalam mungkin belum sepenuhnya dipahami oleh pemirsa muda, terutama mereka yang belum familiar dengan kisah Oz the Wizard of the Emerald City. Sebaiknya orang tua mendampingi dan menjelaskan konteks cerita agar anak dapat mengambil nilai-nilai positif dari film ini.

Wicked merupakan film yang berhasil menghadirkan reinterpretasi baru atas cerita klasik sekaligus menyoroti isu-isu sosial seperti hak istimewa kecantikan, stereotip moral, dan pentingnya keberanian untuk menjadi diri sendiri. Lagu-lagunya menyampaikan pesan kuat tentang pemberdayaan perempuan, menjadikan film ini lebih dari sekadar hiburan.

Namun, kekurangan pada panjang cerita dan tempo membuat film ini kurang cocok untuk ditonton oleh anak kecil yang mungkin merasa bosan. Namun bagi khalayak yang lebih dewasa, Wicked merupakan sebuah karya yang patut diapresiasi sebagai renungan nilai-nilai kemanusiaan dan keberanian untuk melampaui batas yang ditetapkan masyarakat. Menonton film di bawah pengawasan orang tua bisa menjadi pengalaman yang berkesan dan mendidik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *