Kabar Harapan

Memberikan Informasi Terupdate Dalam Negri & Luar Negri

Reformasi birokrasi: Pangkas lemak, bukan produktivitas

Jakarta (Antara) – Dalam debat politik publik, efisiensi anggaran sering dianggap sebagai pengurangan biaya buta. Faktanya, pelajaran di Amerika Serikat menunjukkan bahwa efisiensi yang dirancang dengan baik sebenarnya dapat meningkatkan produktivitas tanpa mengorbankan layanan publik atau pertumbuhan ekonomi.

Indonesia, dengan birokrasi pemerintah, yang masih gemuk dan boros, dapat mempelajari banyak pengalaman ini, selama pendekatannya mudah beradaptasi, secara bertahap dan basis data.

Amerika Serikat pada 1950 -an hingga 1980 -an berhasil mengembangkan birokrasi yang lancar untuk mendukung inovasi dan layanan publik. Lembaga seperti Centers for Disease Control (CDC) dan NASA adalah contoh efisiensi kelembagaan dengan sejumlah karyawan yang elegan, tetapi hasil pekerjaan luar biasa.

Salah satu prinsip yang paling penting adalah pembatasan jumlah manajer dan pejabat administrasi, serta penekanan pada tanggung jawab kinerja, penggunaan teknologi dan keberanian untuk bereksperimen. Pemerintah AS juga menerapkan alat evaluasi sebagai Program Evaluasi Alat Evaluasi (Partai), yang mirip dengan Sakip di Indonesia, tetapi lebih konsisten dalam implementasi.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Saat ini, birokrasi kami masih dihantui oleh masalah klasik, yaitu struktur institusional dengan berbagai tingkatan, distribusi anggaran yang tidak diketahui dan resistensi terhadap perubahan digital.

Menurut laporan tentang evaluasi tanggung jawab kinerja Otoritas (SAKIP) pada tahun 2023, potensi penghematan dalam biaya negara dapat mencapai RP121,9 triliun per tahun, jika birokrasi dikelola secara efektif. Dalam laporan Kemenkeu terbaru, efisiensi belanja 2024 sebenarnya mencapai RP128,5 triliun.

Tapi penghematan ini hanyalah permukaan. Masih ada banyak ruang untuk memperkuat dasar kebijakan fiskal Indonesia dengan reformasi birokrasi yang lebih dalam dan terstruktur.

Salah satu strategi yang harus dipertimbangkan adalah lapisan manajemen non -produktif yang tertunda. Banyak kementerian dan lembaga memiliki struktur hierarkis yang terlalu kompleks, yang tidak sesuai dengan prinsip kerja yang efisien. Di Amerika Serikat, jumlah manajer di suatu lembaga terbatas, karena tidak lebih dari 20 persen dari total karyawan.

Indonesia belum memiliki hubungan resmi, tetapi data BKN menunjukkan bahwa sebagian besar kementerian memiliki kondisi struktural yang tidak proporsional dan, oleh karena itu, memperlambat proses pembuatan keputusan dan mengimplementasikan program tersebut.

Tetapi efisiensi yang tidak didasarkan pada studi tentang efek dapat kembali. Contohnya adalah Kementerian Masalah Internal beberapa tahun yang lalu, yang melarang semua pihak berwenang, termasuk pemerintah daerah, yang mengadakan pertemuan di hotel. Tujuannya adalah untuk menghemat anggaran negara dan untuk mendorong penggunaan instalasi internal. Namun, efeknya sangat besar di sektor perhotelan, terutama di kota -kota lain seperti Padang, Manado, Balikpan dan Yogyakarta, yang sangat didasarkan pada tikus (pertemuan, stimulan, konvensi dan pameran).

Menurut data dari Asosiasi Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), setelah Larangan dibuat, tingkat pekerjaan hotel di beberapa daerah telah turun secara dramatis menjadi 40-60 persen pada satu blok. Di Sumatra Barat, misalnya, asosiasi hotel melaporkan bahwa lebih dari 700 karyawan hotel diberhentikan dalam tiga bulan pertama politik. Pertemuan Menteri dan Pelatihan Aparat Sipil Negara yang biasanya menghidupkan kembali sektor jasa lokal tiba -tiba menghilang. Di Bali, yang biasanya didasarkan pada tamu pemerintah di luar liburan, hotel yang menempati 20 persen.

Kebijakan itu akhirnya ditinjau beberapa tahun kemudian, tetapi pelajaran penting tetap relevan, yaitu efisiensi yang tidak memperhitungkan dampak turunannya terhadap sektor sendiri -itu dapat mencapai ekonomi lokal dan menyebabkan pengangguran. Ini bukan efisiensi, tetapi transmisi tugas dari negara ke masyarakat. Dalam konteks ini, kebijakan harus memperhitungkan efek dari pengganda, bukan hanya ekonomi nominal.

Langkah selanjutnya dalam memperbaiki birokrasi adalah digitalisasi layanan dan proses administrasi yang berdampak. Indonesia dimulai melalui GovTech INA Digital, tetapi aplikasinya tidak terdistribusi secara merata.

Laporan Kominfo menunjukkan bahwa hanya sekitar 35 persen dari pihak berwenang yang memiliki sumber daya manusia yang cukup. Faktanya, transformasi digital bukan hanya masalah teknologi, tetapi juga masalah cara kerjanya, budaya organisasi dan keinginan untuk mengubah paradigma birokrasi.

Kementerian/lembaga harus difokuskan pada proyek -proyek strategis yang memiliki dampak tinggi, seperti mendigitalkan rumah sakit, layanan sosial online, dan proyek kerja. Untuk alasan ini, pemerintah dapat membentuk program “Proyek Strategis Kementerian” (MODSP), yang meniru model “kecepatan warp” di Amerika Serikat selama pandemi. Proyek -proyek ini harus memiliki kronologi, indikator kinerja, dan audit independen hanya untuk menjadi jargon.

Juga, efisiensi tidak boleh dilakukan secara acak. Pengurangan anggaran kementerian di RP306,7 triliun dalam proyek proyek negara 2025, dilaporkan oleh berbagai rata -rata, harus diteliti dengan cermat agar tidak bertemu dengan kementerian yang mengimplementasikan reformasi penting.

Jika efisiensi tidak disertai dengan data prioritas dan dampak, itu dapat secara efektif mengurangi PDB. Dalam proyeksi perbankan Indonesia, pertumbuhan ekonomi tahun depan dalam kisaran adalah 4,7 hingga 5,5 persen. Pemotongan anggaran dapat menghambat pemulihan keuangan, terutama jika Anda memiliki orientasi sektor yang produktif

Yang penting juga untuk mengukur efisiensi birokrasi tidak hanya dari jumlah pengeluaran, tetapi dari kualitas layanan dan dari dampaknya terhadap masyarakat.

Pemerintah Australia mengevaluasi ribuan program setiap tahun dan menyetujui sekitar 80-90 program yang benar-benar berdampak. Indonesia dapat meniru ini dengan memperkuat evaluasi Korsinistric yang melibatkan Bappenas, Kementerian Keuangan dan staf presiden.

Ketika datang ke pendanaan, pemerintah dapat mengatur struktur anggaran karyawan. Saat ini, biaya karyawan mencapai 14,62 persen dari anggaran negara (data 2022), meskipun produktivitas tidak sebanding. Dengan mengurangi posisi manajemen yang tidak produktif dan menggantinya dengan sumber daya manusia digital dan profesional, efisiensi dapat diperoleh tanpa pemecatan besar -besaran.

Rekomendasi Politik

Sehingga efisiensi birokrasi Indonesia tidak mengurangi produktivitas dan pendapatan internal bruto, setidaknya ada lima rekomendasi politik yang harus dipertimbangkan. Pertama -tama evaluasi dampak kebijakan holistik. Sebagai kasus melarang pertemuan di hotel, setiap kebijakan efisiensi harus dievaluasi dengan mempertimbangkan dampaknya pada sektor dan pekerjaan nyata.

Kedua, itu menyederhanakan struktur birokrasi. Tentukan rasio struktural maksimum dan buat penundaan bertahap berdasarkan kinerja.

Ketiga, digitalisasi terintegrasi dan terukur. Bangun sumber daya manusia digital di seluruh K/L dan mempercepat sistem layanan online.

Keempat, proyek strategis nasional memprioritaskan. Terapkan model anggaran berbasis energi, bukan diskon umum. Penganggaran berbasis konsekuensi adalah metode anggaran yang memprioritaskan pembiayaan berdasarkan kontribusi nyata suatu program atau proyek untuk tujuan pembangunan nasional, seperti menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan atau mencapai tujuan SDG. Strategi ini mengevaluasi secara empiris dan kuantitatif jika suatu proyek menawarkan manfaat ekonomi dan sosial yang tinggi dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan.

Di Indonesia, pemerintah telah membentuk Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagai program prioritas untuk mendukung pertumbuhan abad pertengahan. Pada tahun 2023, 200 PSN terdaftar dengan nilai investasi RP5 746 triliun, yang mencakup sektor infrastruktur, energi, teknologi, dan keamanan pangan.

Proyek -proyek ini dirancang untuk memperluas koneksi regional (pajak, pelabuhan, bandara), untuk meningkatkan akses ke listrik dan energi bersih, untuk meningkatkan keamanan makanan dan air dan mendorong digital dan industri 4.0.

Tetapi jika pengurangan anggaran dilakukan tanpa menganalisis dampak proyek, proyek yang harus menjadi mesin pertumbuhan sebenarnya dapat dicegah dan pada akhirnya akan mempengaruhi penurunan PDB, peningkatan pengangguran dan hilangnya efek multipleing di sektor swasta.

Kelima, memperkuat evaluasi program dan transparansi. Ini melibatkan pihak ketiga dan audit independen untuk mengevaluasi efektivitas anggaran secara berkala.

Indonesia harus mengadopsi semangat reformasi dalam gaya Amerika Serikat tidak hanya dalam kasus pemotongan anggaran, tetapi dari mode berpikir dasar, yaitu hasilnya lebih penting daripada prosedur, inovasi lebih penting daripada formalitas.

Efisiensi anggaran tidak hanya disimpan, tetapi untuk menonton biaya untuk hal -hal yang benar untuk hasil yang benar. Efisiensi anggaran tidak hanya mengurangi biaya, tetapi juga biaya untuk memberikan efek tertinggi bagi orang dan ekonomi.

Metode penganggaran berbasis konsekuensi, jika diterapkan dengan benar, dapat menjadi respons untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan pekerjaan dan kesejahteraan sosial.

Pemerintah Indonesia harus belajar dari kelemahan kebijakan penyembelihan seragam dan mulai menargetkan pengeluaran negara pada program yang benar -benar strategis dan dampak langsung adalah saat yang jarang untuk memperbaiki birokrasi mereka dengan mengurangi lemak, tetapi mempertahankan otot ekonomi yang kuat dan berkembang.

Jangan biarkan efisiensi niat baik benar -benar menekan sektor produktif dan meningkatkan pengangguran, yang terjadi. Mari belajar, jangan mengulangi.

*) Dr. Aswin Rivai, Se., MM adalah pengamat ekonomi dan dosen oleh veteran Feb-up, Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *