Kabar Harapan

Memberikan Informasi Terupdate Dalam Negri & Luar Negri

Masa depan manufaktur Indonesia di era tren “Reshoring” global

Jakarta (Antara) – Manufaktur global dalam dekade terakhir telah mengalami transformasi yang serius. Perubahan kepemilikan lepas pantai sebelum penolakan dan proteksionisme mencerminkan realitas ekonomi dalam pembangunan dan interaksi yang kompleks antara kemajuan teknologi dan tekanan sosial -politik.

Untuk Indonesia, dinamika ini membawa peluang dan masalah yang signifikan di pasar tenaga kerja, daya saing dan pengembangan masyarakat yang baik. Dengan tren ini, Indonesia harus bersiap untuk mengoptimalkan keuntungannya dengan menghadapi masalah baru.

Sebelum Resesi Dunia 2008, transfer operasi komersial ke negara lain- telah menjadi strategi utama bagi perusahaan produksi global. Banyak perusahaan memindahkan produksi ke negara -negara berkembang seperti Cina, Vietnam dan Indonesia. Dalam konteks ini, Indonesia adalah salah satu tujuan penting lepas pantai di wilayah ASEAN, terutama di sektor tekstil, elektronik dan sepatu.

Pada tahun 2000 -an, sektor produksi Indonesia meningkat dengan cepat, memasukkan produk domestik bruto (PDB), mencapai 26 % pada tahun 2001, sebelum menurun menjadi 19 % pada tahun 2022 sebagai perubahan dalam struktur ekonomi.

Strategi lepas pantai menciptakan jutaan pekerjaan, mendorong pertumbuhan ekspor dan mempercepat urbanisasi. Misalnya, pada tahun 2010, ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia meningkat dari $ 7,8 miliar menjadi $ 1,8 miliar, menunjukkan peran penting di negara ini sebagai salah satu eksportir terbesar di dunia.

Namun, seiring waktu, biaya tangan di negara -negara utama, termasuk Indonesia, mulai meningkat. Antara 2015 dan 2020, biaya sektor produksi tangan -Indonesia meningkat rata -rata 6 % per tahun, membuat persaingan lebih kaku di negara -negara seperti Bangladesh dan Vietnam.

Pergi ke Pernyataan

Negara -negara maju telah mulai menghadapi masalah dalam bentuk kehilangan pekerjaan rumah dan meningkatkan ketimpangan pendapatan dari lepas pantai. Tren ini mendorong pengembalian produksi ke negara asal dan pelaporan, terutama di negara -negara seperti AS dan Uni Eropa.

Penyelamatan disebabkan oleh beberapa faktor utama, termasuk pencapaian teknologi pertama. Adopsi robotika dan otomatisasi meningkat, mengurangi kebutuhan akan pekerjaan murah. Menurut laporan tentang International Robotics Federation (IFR), penggunaan robot di sektor produksi dunia meningkat rata -rata 10% per tahun sejak 2017.

Amerika Serikat mencatat adopsi robot industri hingga 40,00 unit pada tahun 2022, sementara Indonesia hanya menerima sekitar 1.200 unit, menunjukkan kesenjangan yang signifikan dalam kesiapan teknologi.

Kedua, kerentanan rantai pasokan. Pandemi Covid-19 menekankan ketergantungan yang berlebihan pada rantai pasokan global. Impor Cina di Amerika Serikat menurun sebesar 20 % pada tahun 2020, sementara Vietnam dan Meksiko mampu meningkatkan pangsa pasar sebesar 12 % dan 9 %.

Indonesia sendiri menghadapi pelanggaran yang sama, terutama dalam ekspor produk elektronik yang menurun menjadi 15 %pada tahun 2020, meskipun perlahan -lahan pulih pada tahun 2021 dan 2022.

Ketiga, rasa proteksionisme. Pemerintah Donald Trump telah memperkenalkan kebijakan tarif yang agresif, termasuk 25 % barang impor yang diimpor di Cina. Kebijakan ini menyebabkan efek domino, yang berdampak pada negara -negara berkembang sebagai Indonesia, yang harus mengatur strategi ekspor mereka untuk mencegah tarif tambahan.

Keempat, merestrukturisasi perdagangan global. Restrukturisasi komersial jelas terlihat di pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa. Data menunjukkan bahwa dari 2017 hingga 2023, impor impor Tiongkok menurun sebesar 15 %, sementara negara -negara seperti Vietnam, Meksiko dan Bangladesh mencatat peningkatan 12 %, 9 %dan 10 %.

Di Uni Eropa, perubahan ini lebih dipengaruhi oleh faktor -faktor geopolitik, seperti Perang Rusia, yang menyebabkan pengurangan impor dari Rusia menjadi 30 %. Sebaliknya, Eropa meningkatkan perdagangan dengan negara -negara seperti India (impor 8 %) dan Brasil (7 %).

Berdasarkan perkiraan model gravitasi, meningkat sebesar 1 % dari perjalanan, dapat mengurangi total perdagangan sebesar 7,25 % di AS dan 4,67 % untuk Uni Eropa. Dampak ini menunjukkan sensitivitas aliran perdagangan global pada perubahan kebijakan proteksionisme.

Antara peluang dan masalah

Restrukturisasi komersial ini menciptakan peluang bagi berbagai negara dan masalah bagi orang lain. Dalam konteks ini, Indonesia harus memanfaatkan tiga faktor utama yang dapat menentukan keberhasilannya dalam menarik investasi.

Pertama, produktivitas. Produktivitas tenaga kerja Indonesia masih terlambat dibandingkan dengan pesaing. Nilai tambahan produksi pekerja di Indonesia hanya mencapai $ 5.000 pada tahun 2023, yang jauh lebih rendah dari Vietnam ($ 8.000) dan Thailand ($ 12.000). Meningkatkan keterampilan kerja adalah prioritas untuk meningkatkan daya saing.

Kedua, potensi logistik. Berdasarkan Indeks Kinerja Logistik (LPI) 2023, Indonesia berada di peringkat ke -46 di dunia, di belakang Malaysia (25) dan Singapura (3). Meningkatkan pintu dan infrastruktur transportasi diperlukan untuk mengurangi biaya logistik, yang saat ini mencapai 24 % dari PDB, yang jauh lebih tinggi dari rata -rata 8 hingga 10 %.

Ketiga, kesiapan teknologi. Investasi dalam Studi dan Pengembangan (NDCR) di Indonesia hanya 0,3 %dari PDB, yang secara signifikan di belakang Korea Selatan (4,5 %) dan Singapura (2,2 %). Tanpa adopsi teknologi canggih, Indonesia sulit untuk bersaing dalam otomatisasi dan produksi digital.

Resolusi perdagangan global, terutama resolusi berbasis teknologi, memiliki banyak pengaruh pada masyarakat. Termasuk adanya ketidakkonsistenan pendapatan.

Otomasi menggantikan permintaan ekspor untuk produk intensif yang berfungsi. Di Indonesia, pelanggan tekstil dan sepatu menghadapi 8 % ekspor pada tahun 2023, mempengaruhi pekerja pendidikan rendah, yang berkurang sebesar 5 %.

Dampak lain adalah penurunan konsumen yang baik. Proteksionisme meningkatkan harga barang impor. Misalnya, harga produk elektronik impor meningkat rata -rata 8 % setelah pengenalan tarif untuk impor di beberapa negara. Dampaknya, daya beli rakyat menurun, terutama pada kelompok pendapatan berukuran sedang terkecil.

Jadi, peluang untuk diversifikasi. Negara -negara seperti India dan Brasil, yang mencatat peningkatan impor dari Uni Eropa untuk menjadi pasar potensial produk Indonesia. Pada tahun 2023, ekspor makanan ke India meningkat 6 %, menunjukkan peluang diversifikasi yang dioptimalkan.

Rekomendasi tentang Politik

Untuk menghadapi dinamika global ini, Indonesia harus menerapkan strategi berikut.

Untuk pertama kalinya, diversifikasi ekspor. Indonesia harus fokus pada produk yang lebih tinggi seperti produk elektronik, mobil dan teknologi. Pemerintah juga harus menyelidiki pasar non -tradisional seperti Afrika dan Timur Tengah.

Kedua, peningkatan infrastruktur. Investasi dalam infrastruktur logistik seperti pelabuhan dan jaringan transportasi harus diprioritaskan. Tujuan pemerintah adalah untuk meningkatkan peringkat LPI pada 30 pertama di tahun 2030. Ini dapat membantu menarik investasi.

Ketiga, investasi dalam sumber daya manusia dan teknologi. Pemerintah perlu meningkatkan distribusi anggaran ke NDCR menjadi 1 % dari PDB pada tahun 2030 dan memperluas program pelatihan berbasis teknologi untuk menghadapi era otomatis.

Transformasi global dalam produksi membawa masalah besar di Indonesia, termasuk penurunan daya saing di sektor tradisional. Namun, dengan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan diversifikasi, peningkatan daya saing logistik dan meningkatkan produktivitas.

Untuk memahami dampak panjang dari perestroika ini pada ekonomi domestik, penelitian tambahan harus dilakukan. Dengan bantuan strategi Indonesia yang adaptif dapat memainkan peran besar dalam mengubah skenario produksi global.

*) Dr.aswin Rivai, If., MM, Pengamat Ekonomi dan Profesor Veteran UPN, Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *