JAKARTA (ANTARA) – Ketua Badan Anggaran DPR RI (Banger) Abdullah mengatakan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% bertujuan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Dalam keterangannya di Jakarta, Minggu, dia mengatakan negara membutuhkan pendapatan yang lebih tinggi untuk mendanai berbagai program yang dibutuhkan masyarakat.
Untuk itu, Pemerintah dan DPR sepakat untuk menaikkan tarif PPN yang berlaku menjadi 12% pada tahun 2025 dalam Kebijakan Perpajakan 2021 (UU HPP).
“Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, efisien dan suportif.”
Meski ada penyesuaian tarif PPN, namun negara memastikan tidak ada PPN atas barang-barang yang dibutuhkan masyarakat, termasuk beras. Benih; jagung; sagu; Daging yang belum diawetkan, dibunuh, dikuliti, dipotong, didinginkan, didinginkan, dibekukan, atau dikemas, digram, ditutup, ditutup, diasamkan, atau diawetkan dengan cara lain, dan/atau proses direbus. Telur yang belum diolah, termasuk telur, telur yang dicuci, telur laut, atau telur kemasan. Susu yaitu melewati proses pendinginan atau pemanasan, melewati gula dan bahan serta kemasan atau kemasan lainnya. Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang telah melalui proses pencucian, pengepakan, pengupasan, pemotongan, pengirisan, pencatatan, atau pengemasan, atau diambil dalam kemasan. Sayuran, yaitu sayuran segar, termasuk sayuran segar yang diambil, dicuci, dituang dan/atau disimpan pada suhu rendah, sayuran segar yang dipotong.
“Selain barang-barang tersebut, semuanya dikenakan PPN sebesar 12%, termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPNBM) seperti mobil, rumah, dan barang konsumsi bermutu tinggi,” ujarnya.
Masyarakat yang berada pada kelompok ekonomi tinggi dimaksudkan untuk bisa berkontribusi lebih besar terhadap pendapatan negara. Hal ini nantinya dapat digunakan dalam berbagai program sosial untuk meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi perbedaan sosial ekonomi.
Namun, kontribusi kontrak terhadap PPNBM terhadap penerimaan negara dikatakan tidak signifikan, yakni rata-rata 1,3% pada 2013 hingga 2022. Artinya, jika PPN 12% hanya diterapkan pada barang mewah yang mengandung objek PPNBM, maka penerimaan pajak pada tahun 2025 tidak akan bisa meningkat.
Kebijakan ini berpotensi mempengaruhi daya beli seseorang.
Oleh karena itu, Banggar DPR meminta pemerintah menerapkan kebijakan mitigasi secara menyeluruh.
Presiden Bangor merekomendasikan delapan kebijakan yang dapat dipertimbangkan pemerintah.
Pertama, menambah jumlah penerima dan menambah anggaran perlindungan sosial, memastikan penyalurannya tepat sasaran.
Kedua, perlunya mempertahankan subsidi bahan bakar minyak (BBM), listrik, dan LP bagi rumah tangga miskin, termasuk kelompok pengemudi ojek online (OJOL).
Ketiga, perluasan subsidi transportasi pada moda yang digunakan masyarakat sehari-hari.
Keempat, kita perlu memastikan bahwa subsidi perumahan harus digunakan pada tingkat menengah ke bawah.
Kelima, bantuan pengayaan universitas dan beasiswa.
Keenam, kami melakukan operasi pasar secara rutin minimal dua bulan sekali untuk memastikan inflasi terkendali.
Ketujuh, sebagian biaya pemerintah untuk produk mikro, menengah (UMKM).
Terakhir, memberikan pelatihan dan program ekonomi otonom kepada masyarakat terdampak untuk memasuki sektor kompetitif. Bahkan, pemerintah juga bisa menyinkronkan kebijakan tersebut dengan penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Leave a Reply