Jakarta (Antara) – Ketika dunia mulai bangkit dari bayang-bayang pandemi, lanskap perekonomian global menghadapi babak baru yang tidak kalah menantang.
Perubahan penting adalah normalisasi kebijakan moneter di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang.
Bank sentral negara-negara tersebut, khususnya Federal Reserve (Fed), secara agresif menaikkan suku bunga acuannya untuk menekan inflasi.
Langkah ini, meskipun diperlukan untuk menjaga stabilitas perekonomian dalam negeri, memiliki implikasi yang lebih luas bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Normalisasi kebijakan moneter yang dilakukan negara-negara maju bukanlah hal yang mengejutkan. Sejak tahun 2022, inflasi telah meningkat tajam di banyak negara maju, terutama didorong oleh kenaikan harga energi, gangguan rantai pasokan, dan dampak stimulus besar-besaran selama pandemi.
Sebagai tanggapannya, bank sentral, khususnya The Fed, menaikkan suku bunga dari mendekati nol menjadi lebih dari 5 persen dalam waktu kurang dari dua tahun.
Data Ekonomi Federal Reserve (FRED) dan laporan resmi The Fed Outline data menunjukkan bahwa Federal Reserve mulai menaikkan suku bunga dari level 0,00-0,25 persen pada Maret 2022, dan ke kisaran 5,25-5,50 persen pada Juli 2023. Telah mencapai
Langkah ini telah mengguncang pasar keuangan global, mempengaruhi aliran modal, nilai tukar mata uang, dan stabilitas ekonomi negara-negara berkembang.
Penelitian ini dilakukan oleh Shaghil Ahmed, Ozge Akinci dan Albert Queralto dari Federal Reserve Board dan Federal Reserve Bank of New York di AS. The Impact of Monetary Policy on Emerging Markets: Shocks and Weaknesses Both Matter (2022) menunjukkan bahwa kenaikan suku bunga di Amerika Serikat berdampak negatif terhadap aktivitas perekonomian di negara-negara berkembang (emerging market economy) melalui peningkatan agregat AS permintaan mempunyai dampak positif yang moderat. EME) dengan fundamental ekonomi yang kuat. Namun hal ini dapat berdampak negatif pada negara-negara berkembang yang lemah.
Hal ini didukung oleh Laporan Stabilitas Keuangan Global Dana Moneter Internasional (IMF) bulan April 2023 yang menunjukkan bahwa kenaikan suku bunga The Fed menyebabkan arus keluar modal dari negara-negara berkembang ke aset berbasis dolar AS, sehingga menyebabkan ketidakstabilan dan tekanan nilai tukar. devisa semakin meningkat. toko pertukaran.
Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang yang terintegrasi dalam perekonomian dunia, tidak luput dari dampaknya.
Normalisasi kebijakan moneter di negara maju memicu capital outflow dari negara berkembang, termasuk Indonesia.
Investor global, yang mencari imbal hasil lebih tinggi dengan risiko lebih kecil, menarik dana dari pasar negara berkembang dan memindahkannya ke aset berbasis dolar AS yang lebih menarik.
Laporan Perdagangan dan Pembangunan Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) tahun 2022 menegaskan bahwa kenaikan suku bunga di AS telah mendorong arus keluar modal dari negara-negara berkembang.
Akibatnya, nilai tukar rupee terdepresiasi, biaya impor meningkat, dan beban pembayaran utang luar negeri dalam dolar meningkat.
Laporan Tahunan Bank Indonesia (2023) memperkirakan penurunan nilai tukar rupiah pada 2022-2023 akibat penguatan dolar AS.
Selain itu, kenaikan suku bunga global juga diperkirakan akan memberikan tekanan pada sektor domestik.
Bank Dunia mengatakan dalam perkiraan perekonomian Indonesia bulan Juni 2023 bahwa pengetatan moneter dapat mengurangi konsumsi dan investasi, sehingga memperlambat pertumbuhan PDB.
Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI) harus menyikapinya dengan kebijakan moneter yang ketat untuk menjaga stabilitas rupiah dan menekan inflasi.
Namun kenaikan suku bunga BI berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi domestik. Kredit konsumsi dan investasi yang menjadi tulang punggung pertumbuhan mulai menurun akibat kenaikan suku bunga pinjaman.
Dalam jangka panjang, hal ini dapat menekan daya beli masyarakat dan memperlambat pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Fundamental ekonomi
Namun, selalu ada peluang di setiap tantangan. Suroto, Ketua Asosiasi Kerangka Sosial Ekonomi Strategis (AKSES), meyakini pemerintah Indonesia sebenarnya mempunyai peluang untuk memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat fondasi perekonomian dalam negeri.
Krisis ini merupakan pengingat bahwa ketergantungan pada pendanaan asing dan volatilitas pasar global harus dikurangi. Suroto menyarankan beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan untuk mengurangi dampak negatif normalisasi kebijakan moneter di negara maju.
Pertama, diversifikasi sumber pendanaan merupakan langkah penting.
Laporan bertajuk Developing Asia Bond Markets in 2022 oleh Asian Development Bank (ADB) menekankan pentingnya pengembangan pasar keuangan domestik untuk mengurangi ketergantungan pada pembiayaan luar negeri.
Oleh karena itu, pemerintah dan sektor swasta harus lebih agresif dalam memobilisasi pendanaan dari negara dan mendorong bank untuk menetapkan batas pinjaman program.
Perkembangan pasar keuangan domestik, termasuk obligasi korporasi dan pasar modal berbasis teknologi, dapat memberikan pilihan pembiayaan yang stabil.
Selain itu, peningkatan inklusi keuangan akan memperluas basis investor domestik sehingga mengurangi ketergantungan terhadap investor asing.
Kedua, penguatan sektor riil menjadi kunci menjaga ketahanan perekonomian. Selain fokus pada ekonomi pangan, Indonesia harus meningkatkan daya saing sektor manufaktur dan memperkuat industri berbasis ekspor yang lebih memperhatikan pasar tertentu yang menjadi prioritas pemerintah.
Sebagaimana disoroti OECD dalam Economic Outlook 2023, pentingnya diversifikasi ekonomi dan peningkatan daya saing ekspor di negara-negara berkembang.
Dalam konteks ini, kebijakan yang mendukung hilirisasi sumber daya alam, peningkatan kualitas tenaga kerja, dan insentif untuk investasi teknologi tinggi harus diprioritaskan.
Ketahanan sektor riil akan menjamin perekonomian domestik tetap tangguh di tengah tekanan global.
Ketiga, stabilitas nilai tukar harus dijaga melalui koordinasi yang erat antara Bank Indonesia dan pemerintah.
Intervensi pasar yang moderat, diversifikasi cadangan devisa dan promosi penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan internasional dapat membantu mengurangi tekanan terhadap rupee.
Lebih lanjut, pemerintah dapat memperkuat kerja sama dengan negara mitra dagang untuk meningkatkan transaksi menggunakan mata uang lokal.
Keempat, pentingnya reformasi struktural tidak dapat diabaikan. Dalam jangka panjang, Indonesia perlu memperbaiki iklim investasi, menyederhanakan peraturan, dan meningkatkan infrastruktur.
Reformasi ini akan menarik investasi asing langsung (FDI) yang lebih stabil dibandingkan investasi portofolio, sekaligus meningkatkan produktivitas perekonomian.
Di sisi lain, komunikasi kebijakan juga merupakan elemen penting. Pemerintah dan Bank Indonesia harus mampu mengirimkan pesan yang jelas kepada pasar dan masyarakat mengenai arah kebijakan ekonomi.
Kejelasan ini akan membantu membangun kepercayaan dan mengurangi ketidakpastian yang dapat meningkatkan volatilitas pasar.
Normalisasi kebijakan moneter di negara maju membawa tantangan besar bagi Indonesia, namun juga mengingatkan pentingnya menjaga kemandirian ekonomi dan memperkuat daya saing nasional.
Dalam situasi seperti ini, respons yang tepat waktu dan terukur sangat penting untuk menjaga stabilitas ekonomi sekaligus membuka peluang baru.
Dengan mengambil langkah-langkah strategis, Indonesia tidak hanya akan bertahan namun juga keluar dari krisis ini dengan landasan ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan.
Leave a Reply