JAKARTA (Antara) – Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Budi Herawan mengatakan, pihaknya terus berkoordinasi erat dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator untuk melakukan penyesuaian aturan kebijakan akibat permasalahan Mahkamah Konstitusi (MK). Keputusan no. 83/PUU-XXII/2024.
Putusan Mahkamah Konstitusi no. 83/PUU-XXII/2024 tentang peninjauan substantif melarang perusahaan asuransi membatalkan kontrak secara sepihak.
“Kita (koordinasi dengan OJK), itu juga intens. Saya juga minta mereka santai saja dan kalau semua (modifikasi) kita sudah siap, kita akan mendapat persetujuan (pintu) dari AAUI barulah (modifikasi) bisa dilakukan. digunakan oleh seluruh pemain di lapangan,” kata Budi Herawan dari Jakarta. . , Senin.
Ia berharap, pengaturan tersebut dapat memitigasi potensi moral hazard yang mungkin timbul akibat putusan Mahkamah Konstitusi, seperti konsumen yang dengan sengaja berbohong tentang keadaan propertinya atau dengan sengaja merusak propertinya untuk mengajukan klaim asuransi.
Pihaknya juga menjadikan putusan pengadilan sebagai salah satu cara menilai dan mempelajari bagaimana industri asuransi bisa berubah menjadi lebih baik di masa depan.
Padahal, kata dia, pihaknya sudah mulai melakukan revisi ketentuan kebijakan untuk perbaikan sejak tahun lalu dan menargetkan upaya tersebut bisa selesai pada tahun depan.
“Kami sebenarnya merevisinya tahun lalu, tapi itu tidak termasuk mengubah banyak klausul yang beredar di industri, jadi kami ingin semuanya tetap seragam, tidak tumpang tindih, dan kalau sebagian besar dirugikan, siapa yang akan melakukannya? menderita?” Dan terakhir, masyarakat (tertanggung) dan penanggung (perusahaan asuransi).
Ia mengatakan, sebagai gabungan umum industri asuransi, tantangan pihaknya dalam melakukan perubahan peraturan tersebut sangat besar dan AAUI harus menyeimbangkan keinginan pelaku industri dan masyarakat.
UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pembangunan dan Penguatan Sektor Perekonomian (UU P2SK) merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang menjadi perhatian pihaknya dalam menyeimbangkan kepentingan kedua belah pihak.
“Sesuai dengan UU P2SK, ada perlindungan konsumen. Jadi kita jaga keseimbangan, tidak harus satu arah. “Semuanya harus seimbang, dan itu tantangan yang luar biasa,” kata Budi.
Pada tanggal 3 Januari telah diadakan rapat Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengumumkan putusan no. 83/PUU-XXII/2024 tentang pengujian substantif Pasal 251 Undang-Undang Dagang (KUHD).
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan Pasal 251 KUHP yang dimaksud pelapor secara sistematis inkonstitusional.
“Kriteria Pasal 251 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum bersyarat kecuali ‘itu’ dimaknai batalnya pertanggungan, yang harus berdasarkan putusan pengadilan berdasarkan kontrak.” antara penanggung dan tertanggung,” kata Ketua Hakim Suhartoyo.
Pasal 251 KUHP menyatakan bahwa “segala keterangan yang palsu atau tidak benar atau segala penyembunyian keadaan yang diketahui tertanggung, sekalipun hal itu dilakukan dengan itikad baik, tidak boleh menimbulkan suatu kontrak atau menimbulkan keadaan yang sama”. jika keadaan sebenarnya dari semua hal ini diketahui oleh perusahaan asuransi, maka pertanggungan tersebut batal.
Leave a Reply