Kabar Harapan

Memberikan Informasi Terupdate Dalam Negri & Luar Negri

Krisis asuransi, akar masalah dan bagaimana memperbaikinya

Jakarta (Antara) – Industri asuransi yang perlu mendukung perlindungan keuangan masyarakat kini menghadapi tantangan berat.

Di Indonesia, berbagai kasus gagal bayar yang dilakukan Jivashraya, Bumiputera, dan sejumlah perusahaan asuransi lainnya memicu kemarahan konsumen. Fenomena serupa terjadi di berbagai belahan dunia, yang menunjukkan masalah utama industri ini.

Apa akar masalahnya dan apa solusinya.

Dunia asuransi menghadapi dua permasalahan besar yang menimbulkan banyak krisis. Pertama, sistem ini sering dianggap sebagai bentuk pembayaran atas ketidakpastian, atau dikenal sebagai mekanisme transfer risiko. Kedua, dengan mentransfer mekanisme risiko, dana saham dan aset perusahaan tercampur.

Konsumen membayar premi dengan harapan mendapatkan manfaat dari risiko tertentu, seperti kematian atau kecelakaan. Namun jika risiko tersebut tidak muncul, maka premi sepenuhnya menjadi milik perseroan.

Pola seperti ini menimbulkan perasaan ketidakadilan di kalangan konsumen, terutama ketika mereka tidak mendapatkan manfaat langsung dari premi yang dibayarkan. Ketika klaim ditolak karena alasan administratif, kepercayaan masyarakat juga akan berkurang.

Yang memperparah keadaan ini, gambaran jelas penyalahgunaan kekuasaan terlihat dari kasus Jivasraya.

Berdasarkan audit Badan Audit Keuangan (FAA), ditemukan bahwa dana klien digunakan untuk berinvestasi pada saham-saham yang tidak dapat diandalkan dan berkinerja buruk. Investasi berisiko tinggi ini dilakukan tanpa mempertimbangkan keamanan dana nasabah dan pada akhirnya menimbulkan kerugian besar bagi perusahaan.

Jivasraya tidak hanya gagal memenuhi kewajiban klaimnya, namun juga merupakan contoh nyata betapa buruknya manajemen risiko di industri asuransi ketika pengelolaan dana tidak transparan dan tidak sesuai dengan tujuan penggunaannya.

Masalah serupa juga terjadi di Bumiputera, dimana perusahaan menghadapi utang yang melebihi asetnya. Ketidakseimbangan ini diyakini berakar pada premi, sehingga berkontribusi terhadap ketidakpastian. Namun, karena klaim meningkat pesat, perusahaan tidak mampu menutupinya.

Selain itu, investasi yang tidak hati-hati juga menjadi penyebab utama terjadinya krisis ini. Akibatnya, kepercayaan konsumen runtuh dan upaya restrukturisasi keuangan menjadi jalan yang sulit bagi perusahaan.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan reformasi mendasar dalam pengelolaan industri asuransi.

Salah satu pendekatan yang mungkin dilakukan adalah peraturan yang mewajibkan pemisahan dana sosial dari aset perusahaan. Dana sosial yang dihimpun melalui perjanjian hibah ini hanya dapat digunakan untuk membayar tagihan para peserta sesuai perjanjian, sedangkan kekayaan perusahaan digunakan untuk operasional dan investasi.

Pemisahan seperti ini meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, sehingga mengurangi risiko penyalahgunaan dana. Penerapan ketentuan yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 18 Tahun 2010 ini merupakan keputusan penting untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul selama ini.

Penting untuk dipahami bahwa dana yang diperoleh melalui mekanisme hibah ini tentu saja bukan milik perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi hanyalah suatu organisasi yang ditunjuk untuk mengelola dana hibah untuk tujuan tertentu yang berkaitan dengan proses klaim. Dengan cara ini, konflik kepentingan dan penyalahgunaan dana dapat dikurangi secara signifikan.

Untuk memudahkan pemahaman mengenai konsep kontrak hibah, kita dapat melihat praktik sederhana yang umum terjadi di masyarakat, yaitu kontribusi sosial di tingkat RT. Setiap warga RT sepakat untuk secara sukarela berkontribusi kepada masyarakat. Dana yang terkumpul digunakan untuk kepentingan masyarakat, seperti membantu warga yang terkena bencana atau mengadakan acara kemasyarakatan.

Misalnya, karena dana sosial yang terkumpul digunakan untuk membantu orang sakit atau sekarat, maka seluruh warga berkumpul kembali dan mengambil keputusan bersama. Mereka mungkin memutuskan untuk menambah atau mengurangi nominal kontribusi sosial atau mengubah jumlah bantuan yang diberikan.

Dana masyarakat yang dihimpun di sini tidak dipergunakan untuk kepentingan pihak manapun, melainkan hanya untuk kepentingan bersama. Konsep ini menunjukkan bagaimana kerja sama dan kesepakatan bersama dapat dilaksanakan secara efektif.

Model kontribusi kolektif berbasis koperasi menawarkan akses yang adil di sektor asuransi. Dalam sistem ini, premi yang dibayarkan konsumen dianggap sebagai kontribusi untuk membantu peserta lain yang mengalami kecelakaan.

Jika dana sosial terkuras karena klaim yang besar, peserta dapat secara kolektif menyepakati solusinya, seperti penyesuaian premi atau manfaat. Konsep ini menciptakan hubungan yang manusiawi antara perusahaan dan pelanggan, menghilangkan konsep jual beli risiko asuransi.

Namun, jika mekanisme risiko ini tidak diubah, ada kemungkinan lebih banyak bom waktu yang akan meledak di masa depan. Sistem ini tidak hanya menimbulkan ketimpangan antara perusahaan dan nasabah, namun juga membuka peluang terjadinya permasalahan sistemik yang melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi secara keseluruhan.

Peristiwa di luar negeri memberikan pelajaran penting. Di Inggris, konsep asuransi mutual seperti metode ini berhasil mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap asuransi. Sementara itu, di Timur Tengah, peraturan pengelolaan dana publik telah mengurangi gagal bayar secara signifikan.

Indonesia sendiri memiliki kerangka hukum untuk menerapkan prinsip tersebut melalui Peraturan Mata Uang Nomor 18 Tahun 2010 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014. Namun implementasinya masih perlu diperkuat agar dapat memberikan dampak nyata.

Dengan menggunakan pendekatan ini, regulator mempunyai peluang besar untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap asuransi. Reformasi seperti pemisahan dana sosial dari kekayaan perusahaan asuransi dan penerapan iuran masyarakat berbasis solidaritas memberikan dasar yang kuat untuk mencegah krisis di masa depan.

Penting juga untuk meningkatkan literasi keuangan individu agar mereka memahami cara kerja asuransi dan memilih produk yang paling sesuai dengan kebutuhannya. Dengan langkah-langkah ini, industri asuransi bisa menjadi adil, transparan, dan berkelanjutan.

*) Baradeva Sakthi P adalah pakar keuangan keluarga dan pembiayaan UKM

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *