Jakarta (Antara) – Prasasti Pukankan yang pernah berdiri di kaki Gunung Penangungan di Mojokerto, Jawa Timur, menjadi saksi bisu sejarah kejayaan Raja Airlanga.
Batu yang dipahat tersebut tidak hanya menceritakan kisah perjalanan Raja Agung, namun juga melambangkan keagungan kebudayaan Indonesia.
Diharapkan setelah ratusan tahun tulisan sejarah ini segera kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Prasasti tersebut menggambarkan pertempuran Airlanga yang akhirnya mendirikan Kerajaan Kahuripan setelah selamat dari kehancuran Keraton Medang.
Peninggalan sejarah ini juga menceritakan tentang keputusan besar raja yang membagi kerajaannya menjadi Jangala dan Panjalu untuk menjaga perdamaian.
Diukir dalam bahasa Jawa Kuno dan Sansekerta, prasasti tersebut menjadi bukti nyata keindahan sastra dan politik pada masa itu.
Upaya kembali
Besarnya harapan terhadap hubungan diplomatik antara Indonesia dan India yang akan terwujud dengan kunjungan Presiden ke negara Bollywood tersebut pada 26 Januari mendatang.
Selain mempererat kerja sama strategis, kunjungan tersebut juga berupaya merestorasi Prasasti Pukankan bersejarah yang memuat kisah besar Raja Airlangga dan nenek moyang nusantara.
“Kami berharap kunjungan Presiden ke India berikutnya, misalnya, dapat menandai kembalinya Prasasti Pukankan yang merupakan prasasti penting bagi kami karena memuat silsilah raja-raja Airlanga, Empu Sindok, dan lain-lain,” kata Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
Kini disimpan dengan indah di Museum India, Kolkata, prasasti ini bukan sekadar batu bertulis. Ia menjadi saksi bisu perjalanan sejarah yang menghubungkan nama besar Raja Airlangga dengan pendiri Dinasti Isyana, Mpu Sindok.
Prasasti tersebut memuat silsilah raja-raja yang menjadi tumpuan peradaban besar Jawa pada abad ke-10 dan ke-11.
Prasasti Pukangan memuat kisah berharga Raja Airlangga yang harus bertahan di tengah kekacauan politik, dan melalui kebijaksanaan serta pengorbanan, membangun kembali kejayaan nusantara.
Batu ini juga menjadi penghubung antara Dinasti Isyana dengan masa Kahuripan Agung.
Namun, ceritanya tidak berakhir di situ. Harapan besar kini tertuju pada upaya diplomasi kebudayaan agar tulisan ini dapat dibawa kembali ke tanah air.
Kepulangan Puchangan Puraskar tidak hanya sekedar restorasi benda-benda bersejarah, namun juga mengembalikan kisah besar nusantara untuk generasi mendatang.
Seperti halnya Airlanga yang kembali dari pelariannya untuk membangun Kahuripan, prasasti tersebut diharapkan dapat kembali menjadi simbol kebangkitan dan jati diri bangsa.
Jika di kemudian hari kembali hadir, Prasasti Pukankan akan menjadi pusat perhatian, berdiri kokoh di Museum Nasional sebagai penjaga cerita leluhur yang menginspirasi setiap orang yang melihatnya.
Ketika tulisan akhirnya menyentuh tanah Indonesia, mengingatkan kita bahwa sejarah adalah warisan yang tidak boleh hilang, akar yang menjaga bangsa ini tetap tegak di tengah tantangan zaman.
Sejarah
Di balik kejayaan peradaban masa lalu Jawa Timur terdapat sebuah prasasti yang penuh misteri dan kisah heroik.
Prasasti Pukankan abad ke-11 ditemukan di nusantara pada masa penjajahan Inggris, khususnya pada tahun 1812, ketika Thomas Stamford Raffles menjabat sebagai Letnan Gubernur Batavia.
Alih-alih tetap berada di negara induknya, prasasti tersebut malah dibawa ke India sebagai koleksi pribadi Lord Minto, Gubernur Jenderal Inggris. Kini prasasti ini disimpan dengan indah di sebuah museum di Kolkata, India.
Aksara Pukangan memuat dua cerita berbeda yang ditulis dalam dua bahasa, Jawa Kuna dan Sansekerta, namun keduanya menggunakan aksara kunyit.
Bentuk prasasti ini unik, berupa batu dengan bagian atas runcing dan pangkal berbentuk bunga teratai, simbol penghormatan khas Hindu-Buddha.
Nama tersebut diambil dari kata “Pucangan” yang mengacu pada perintah untuk membangun vihara di Pucangan di sekitar Gunung Penanggungan di Mojokerto.
Isi prasasti mencatat silsilah Raja Airlangga dan berbagai peristiwa penting disekitarnya.
Bagian Sansekerta menggambarkan perjalanan Airlanga, raja besar dinasti Isyana.
Dari nenek moyangnya Empu Sindok, lahirnya Airlanga, hingga Mahendradatta dan Udayana.
Ceritanya melibatkan pertempuran Airlanga pada tahun 1016 M ketika Mpu Narotama terpaksa mengungsi ke hutan setelah diserang oleh Raja Wuravar dan istananya terbakar.
Setelah pengasingan, orang-orang yang dipimpin oleh para Brahmana mengajukan petisi kepada Airlanga untuk menjadi raja mereka. Airlanga bangkit, memimpin berbagai peperangan, dan akhirnya berhasil mengalahkan seluruh musuhnya dan dinobatkan sebagai raja pada tahun 1037 Masehi.
Sebagai bentuk rasa syukurnya, ia mendirikan ashram di Pugava untuk memuja para dewa.
Sedangkan pihak Jawa Kuno mencatat momen penting pada tanggal 6 November 1041.
Saat itu, Airlanga dengan gelar Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlanga Ananthaweeramottungadeva menamakan wilayah Pukangan, Brahm dan Bapur sebagai Sima (tanah suci) untuk menunjang ashram yang dibangunnya.
Keputusan ini menandakan janji Airlangga pasca hancurnya Pulau Jawa akibat serbuan Raja Wurawar.
Prasasti Pukankan bukan sekedar ukiran, namun menjadi saksi hari-hari kejayaan raja, perjuangan dan pengorbanannya yang mengubah sejarah Jawa.
Meski kini jauh dari tanah kelahirannya, prasasti tersebut tetap menjadi pengingat akan kekuatan dan kebijaksanaan Airlanga, pemimpin yang membangun kembali peradaban dari kehancuran.
Pukankan Granth mengajarkan bahwa bangkit dari reruntuhan adalah jalan yang abadi.
Leave a Reply