Jakarta (ANTARA) – Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga atau BI-rate menjadi 5,75 persen yang diumumkan Rabu (16/1), mengejutkan pasar. Sebab, dulu banyak pihak memperkirakan suku bunga akan berada di angka 6 persen pada Januari ini.
Misalnya, HSBC Global Research yang mengungkapkan keterkejutannya atas keputusan BI. Kepala ekonom HSBC Global Research untuk India dan india, Pranjul Bhandari, mengatakan seluruh 38 peramal yang disurvei oleh Bloomberg memperkirakan suku bunga akan ditangguhkan.
HSBC sendiri memperkirakan penurunan suku bunga BI akan terjadi pada kuartal pertama tahun ini, namun tidak pada rapat Dewan Pengurus BI (RDG) Januari 2025.
Saat ini PermataBank melalui Permata Institute of Economic Research (PIER) memiliki cita rasa berbeda. Kepala Ekonom PermataBank Josua Pardede mengatakan, sebenarnya ada ruang untuk memangkas suku bunga mulai Desember 2024, sehingga keputusan BI pada Januari ini tidak mengejutkan.
BI menyadari ketidakpastian yang masih terjadi di pasar keuangan global. Selain itu, ketidakpastian dunia terutama terfokus pada arah kebijakan pemerintah Amerika Serikat (AS) pasca terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat, dan kebijakan bank sentral Amerika Serikat atau The Fed. .
BI sudah mempertimbangkan dampak kenaikan Treasury AS akibat defisit anggaran AS (APBN) yang diperkirakan sebesar 7,7 persen. Pimpinan The Fed juga diperkirakan akan menurunkan suku bunga AS (Fed Funds Rate/FFR) hanya satu kali saja sebesar 25 basis poin (bps). BI juga menghitung arah Dolar AS (DXY) ke depan.
Meski belum diketahui arah politik dunia, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan BI dapat mengukur dampaknya terhadap perekonomian Indonesia dari nilai tukar Rupiah, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi.
Stabilitas nilai tukar rupee ke depan diyakini akan tetap terjaga meski terjadi penurunan BI rate. Hingga Selasa (14/1), BI menyebut rupee hanya terdepresiasi sebesar 1 persen (ptp) terhadap dolar AS dibandingkan nilai tukar akhir tahun 2024. Kinerja ini lebih baik dibandingkan rupee India (INR). (PHP) dan Thai Baht (THB), menurut data BI.
Soal rupee, PIER juga mengakui rupee sedang berusaha melemah pada Januari ini. Namun hal ini merupakan fenomena yang sudah menjadi hal biasa di seluruh dunia, melihat bagaimana dolar AS menguat terhadap hampir semua mata uang dunia. PIER mencatat, tekanan terhadap stabilitas rupee masih ada seiring dengan ketidakpastian global yang masih berlangsung, namun menurut BI sudah terukur dan terkendali.
BI menyatakan kekhawatirannya terhadap inflasi, yang akan tetap rendah dalam waktu dekat. Inflasi diperkirakan akan tetap berada di bawah kendali target sebesar 2,5 plus minus 1 persen pada tahun 2025 dan 2026. Dengan inflasi yang rendah, terdapat ruang untuk penurunan suku bunga.
BI menyatakan komitmennya untuk memperkuat efektivitas kebijakan moneter untuk menjaga inflasi dalam kisaran sasarannya dengan tetap mendukung upaya pembangunan ekonomi.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi dalam negeri diperkirakan tetap positif meski sesuai ekspektasi.
Pertumbuhan ekonomi triwulan IV tahun 2024 sedikit lebih rendah dari perkiraan. Hal ini mempengaruhi permintaan rumah tangga, konsumsi dan investasi. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2024 akan sedikit lebih rendah dibandingkan kisaran menengah sebesar 4,7-5,5 persen.
BI melihat adanya risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Pada tahun 2025, bank sentral menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi dari kisaran 4,8-5,6 persen (dengan rata-rata 5,2 persen) menjadi kisaran 4,7-5,5 persen (dengan rata-rata 5,1 persen). Selain itu, bank sentral juga fokus pada pelemahan yang terkait dengan ekspor, konsumsi, dan investasi swasta.
Dalam konteks ini, PIER juga mengingatkan bahwa risiko pembangunan ekonomi semakin meningkat. Pembangunan ekonomi pada tahun 2025 kemungkinan besar akan mendapat tekanan dari luar dan dalam negeri.
Dari luar negeri, risiko perang dagang 2.0 akan berisiko menurunkan ekspor Indonesia. Dari dalam negeri, terdapat risiko permintaan akan terus melemah yang ditunjukkan dengan rendahnya inflasi mendekati akhir sasaran (menunjukkan pelemahan).
Berita bagus
Bahkan ketika rupee berada di bawah tekanan akibat perubahan iklim global, BI tampaknya fokus pada tanda-tanda perlambatan inflasi dan perekonomian domestik.
Dalam RDG BI Rabu (16 Januari), Perry mengatakan keputusan penurunan BI-Rate merupakan langkah untuk mendukung pertumbuhan permintaan. Berdasarkan berbagai indikator, bank sentral menyebut saat ini adalah waktu yang tepat untuk menurunkan suku bunga agar bisa memberikan pertumbuhan yang lebih baik.
“Inilah saatnya menurunkan suku bunga sehingga kita dapat menciptakan kisah pertumbuhan yang lebih baik,” kata Perry.
Ia juga menegaskan kembali bahwa tujuan transaksi keuangan BI tidak sebatas untuk menjamin stabilitas, tetapi juga untuk mendukung pembangunan. Jadi ada keseimbangan antara pro-pemukiman dan pembangunan.
Harapan perkembangan positif tersebut disambut baik oleh para pelaku industri, termasuk pada sektor perbankan, salah satunya Bank Negara Indonesia (BNI). Direktur Utama BNI Royke Tumilaar menyambut baik keputusan BI dan menilai penurunan peringkat BI sebagai sinyal positif.
Pakar perbankan dan sistem pembayaran Arianto Muditomo memperkirakan penurunan suku bunga berpotensi meningkatkan pinjaman perbankan dengan menurunkan biaya pinjaman kepada peminjam.
Pinjaman konsumen seperti pinjaman rumah (HOL) dan pinjaman kendaraan (MVL), serta pinjaman investasi dan modal kerja, diperkirakan akan meningkat karena suku bunga rendah mendukung permintaan kredit.
Menurut data BI, peran kredit atau pembiayaan akan kuat dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2024. Pertumbuhan pinjaman pada tahun 2024 mencapai 10,39 persen (tahunan) atau dalam perkiraan BI sebesar 10 persen -12 persen.
BI juga memperkirakan pertumbuhan kredit akan meningkat pada kisaran target 11-13 persen pada tahun 2025. Perkiraan tersebut, menurut bank sentral, sejalan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi yang positif dan mendukung tujuan dunia usaha BI, termasuk melalui Indeks Kualitas Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang disalurkan ke perbankan.
Meskipun tindakan BI dinilai positif, Arianto menekankan bahwa keberhasilan kebijakan keuangan BI akan bergantung pada kinerja pasar.
Jika sentimen konsumen dan dunia usaha masih lemah akibat ketidakpastian global, dampak suku bunga rendah terhadap pertumbuhan kredit mungkin terbatas. Di sisi lain, perbankan juga harus berhati-hati terhadap risiko kredit, terutama dalam situasi perekonomian dunia yang masih lemah.
Hal itu diungkapkan Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef M. Rizal Taufikurahman. Langkah BI yang menurunkan suku bunga kali ini menunjukkan tekad bank sentral untuk memberikan stimulus guna mendukung pertumbuhan ekonomi.
Secara teori, kebijakan penurunan suku bunga efektif meningkatkan permintaan rumah tangga. Namun keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kepercayaan konsumen, daya beli, dan kemauan sektor riil untuk meresponsnya.
Keputusan penurunan nilai BI juga perlu dibarengi dengan tingkat kehati-hatian karena dapat berdampak pada stabilitas nilai tukar dan aliran modal ke luar negeri sehingga memerlukan manajemen risiko yang lebih ketat.
Jika suku bunga turun, ada risiko pelemahan rupee lebih lanjut. Suku bunga yang lebih rendah dapat mengurangi daya tarik aset dalam mata uang rupee bagi investor asing, sehingga menyebabkan arus keluar modal dan meningkatkan tekanan pada nilai tukar. Selain itu, melemahnya rupee dapat meningkatkan harga impor, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi inflasi.
Dalam kaitan ini, koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal sangat penting untuk pengelolaan risiko ke depan. Sebab tanpa dukungan kebijakan fiskal dan reformasi struktural, dampak penurunan suku bunga terhadap permintaan mungkin terbatas.
Leave a Reply