JAKARTA (Antara) – Wakil Ketua DPR RI Kokun Ahmad Siamsurijal mengkhawatirkan efek domino kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025.
Kalaupun kenaikan PPN hanya 1%, kata dia, akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
“Sebenarnya saya sudah lama prihatin dengan rencana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12%. Sejak periode terakhir DPR, saya sudah mendorong untuk merevisi rencana tersebut,” kata saya di Jakarta, Selasa.
Kenaikan PPN sebesar 12% dikenakan berdasarkan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Peraturan Perpajakan (HPP).
PPN merupakan pajak yang dipungut atas setiap jual beli Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
PPN merupakan pajak tidak langsung, artinya disetorkan konsumen kepada penjual, namun kemudian disetorkan oleh penjual ke kas negara.
Cucun menilai kenaikan PPN sebesar 12% kontraproduktif terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, mengingat kondisi obyektif masyarakat dan perekonomian nasional yang saat ini penuh dengan ketidakpastian yang dinamis.
“Banyak masyarakat yang akan terkena dampak dari kebijakan kenaikan PPN sebesar 12% ini, baik bagi masyarakat umum maupun pendapatan perusahaan, yang akan mempengaruhi gaji karyawan,” ujarnya.
Menurut Cucun, setidaknya ada tiga alasan mengapa kenaikan PPN pada tahun 2025 perlu ditinjau ulang.
Pertama, pengenaan PPN atas transaksi jual beli BKP dan JKP berdampak langsung terhadap daya beli masyarakat.
Menaikkan tarif PPN menjadi 12% otomatis akan menaikkan harga barang dan jasa.
Hal tersebut berpotensi menurunkan kemampuan masyarakat dalam membeli barang dan jasa.
“Khususnya kelompok masyarakat miskin dan rentan yang memiliki pengeluaran terbatas. Ketika harga komoditas bagus maka beban masyarakat kelas bawah menjadi berat,” jelas Kokoon.
Lebih lanjut Kukan menyatakan PPN merupakan pajak tidak langsung yang mengalihkan beban pajak ke konsumen (tujuan).
Kenaikan tarif sebesar 12% akan semakin menambah beban pajak bagi konsumen.
“Situasi ini akan menurunkan daya beli masyarakat yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi, termasuk masyarakat kelas menengah dan pekerja yang pendapatannya setara dengan upah minimum. Mereka akan menghindari penurunan konsumsi dalam negeri dengan menaikkan tarif pajak PPN,” dia dikatakan. Matang.
Memang konsumsi dalam negeri memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Cocoon menilai kenaikan biaya hidup juga akan menambah beban kelas menengah karena kelompok ini sedang mengalami tekanan ekonomi akibat banyak masyarakat yang berpindah kasta.
“Kita juga perlu melihat bahwa situasi stres akibat kenaikan PPN tidak hanya berdampak pada faktor ekonomi masyarakat, tetapi juga psikologi dan emosi masyarakat,” jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Malayani sempat mengatakan, untuk menjaga kesehatan APBN, antara lain perlu menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12%.
Namun Kukan mengingatkan, kenaikan PPN kemungkinan besar juga akan meningkatkan laju inflasi.
Kukan kemudian menggarisbawahi bagaimana kenaikan PPN yang berdampak positif terhadap penerimaan negara harus dibayar dengan inflasi yang tinggi pada tahun 2022. Tahun ini inflasi mencapai 5,51%.
Meski kenaikan tarif PPN menjadi 11% bukan satu-satunya faktor penyumbang inflasi, namun kebijakan ini menjadi penyumbang besar kenaikan inflasi. Sebab, kenaikan tarif akan meningkatkan biaya produksi bagi produsen yang dapat direspon dengan menaikkan harga jual produknya.
“Kenaikan harga barang dan jasa akan berdampak langsung pada indeks harga konsumen (CPI) yang merupakan salah satu indikator inflasi,” kata Kukan.
Alasan lain mengapa kenaikan PPN sebesar 12% dijajaki adalah kondisi perekonomian global yang masih penuh ketidakpastian.
Kenaikan tarif PPN dapat memperlambat pemulihan perekonomian nasional.
Pimpinan DPR, Koordinator Kesejahteraan Masyarakat (Kesra), mengatakan kenaikan PPN akan menambah biaya produksi bagi pengusaha.
Hal ini dapat mengurangi persaingan di pasar global dan membuat pengusaha enggan berinvestasi atau menciptakan lapangan kerja baru.
Alasan ketiga menyangkut sejumlah sektor ekonomi yang diperkirakan akan sangat terkena dampak kenaikan PPN, antara lain sektor ritel, pariwisata, dan industri.
“Sektor ritel diperkirakan akan mengalami penurunan penjualan akibat menurunnya daya beli masyarakat. Padahal, sektor ritel kita sudah beberapa waktu ini mengalami penurunan, jadi seberapa dalam penurunannya?” katanya.
Sementara itu, sektor pariwisata akan mengalami penurunan kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara akibat kenaikan harga tiket pesawat, hotel, dan paket wisata.
Kokan juga mengatakan, sektor industri juga menghadapi tantangan.
Lebih lanjut, Cocoon kemudian membandingkan tarif pajak negara-negara di kawasan ASEAN.
Misalnya Singapura yang masih menerapkan tarif PPN sebesar 7% dan Thailand yang sebelumnya menerapkan tarif 10% kemudian diturunkan menjadi 7% selama pandemi COVID-19 dan hingga tahun 2023 tetap dipertahankan.
Di sisi lain, Cocoon menilai tarif pajak yang tinggi dapat menurunkan kepatuhan pajak masyarakat.
“Jika tarif PPN terlalu tinggi, besar kemungkinan masyarakat akan mencari cara untuk menghindari atau mengurangi beban pajak. Oleh karena itu, perlu diperhatikan apakah tarif PPN yang diusulkan akan efektif dalam meningkatkan penerimaan atau justru berdampak pada pajak kepatuhan,” imbaunya.
Kekhawatiran terhadap dampak spin-off dari rencana kenaikan PPN sebesar 12% juga menjadi perhatian banyak ekonom karena kebijakan tersebut diterapkan di tengah menurunnya daya beli masyarakat.
Cucun memahami, perubahan tarif PPN sebesar 12% akan otomatis berlaku pada 1 Januari 2025 sebagaimana disyaratkan dalam UU HPP.
Namun, kata dia, pemerintah sebenarnya mempunyai kewenangan untuk mengubah tarif PPN sesuai Pasal 7 ayat (3) UU HPP, di mana aturan tersebut mengatur bahwa PPN harus minimal 5% dan maksimal 15% dapat diubah menjadi persentase. .
Maka dari itu, Kukan mengaku akan melihat dampak dari kenaikan PPN sebesar 12%. Jika berdampak signifikan terhadap perekonomian, pihaknya akan mendorong tarif PPN kembali ke 11% melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) setelah berdiskusi dengan DPR.
“Masih ada keleluasaan untuk mengubah PPN dalam aturan tersebut. Jika dampak kenaikan PPN tahun depan terlalu besar, sebaiknya kita dorong pengurangannya,” ujarnya.
Leave a Reply