Kabar Harapan

Memberikan Informasi Terupdate Dalam Negri & Luar Negri

Fragmentasi wilayah Palestina versus solusi dua negara amanah PBB

Batuya (Antara) – Konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina telah memasuki babak baru, sehingga memicu semakin kisruhnya upaya solusi dua negara yang diamanatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Tindakan serius Israel dalam penyelesaian wilayah Palestina, khususnya Jalur Gaza, telah menimbulkan pertanyaan penting mengenai masa depan perdamaian di kawasan Timur Tengah.

Setiap hari tentara Israel menghancurkan harta benda masyarakat, fasilitas kesehatan, infrastruktur pendidikan bahkan bangunan yang merupakan bagian dari warisan budaya dunia.

Dalam dua tahun terakhir, Israel telah membangun empat koridor militer yang membagi Jalur Gaza menjadi beberapa bagian, seperti Mefalsim (Jabalia), Nitzarim, Kisofim dan Philadelphia.

Pembangunan koridor ini tidak hanya memutus hubungan antar wilayah, tetapi juga membuat warga Palestina tidak bisa kembali ke rumahnya.

Koridor Mifalsim memisahkan Gaza utara dari Kota Gaza, sedangkan Koridor Nataram membagi Gaza menjadi wilayah utara dan selatan.

Koridor Kasufim memisahkan Gaza tengah dari Khan Yunis di selatan, sedangkan Koridor Philadelphia memutus akses Gaza ke perbatasan Mesir.

Langkah ini diyakini akan melemahkan pejuang perlawanan Palestina dan memperkuat kontrol Israel di wilayah tersebut.

Upaya sistematis ini dipandang sebagai rencana jangka panjang Tel Aviv untuk menduduki dan menguasai sepenuhnya wilayah Palestina.

Menurut laporan media Israel, koridor tersebut dilengkapi dengan kendaraan militer, infrastruktur jalan dan fasilitas untuk mempertahankan kehadiran militer secara permanen.

Meskipun pemerintah Israel menyangkal adanya agenda pengurangan populasi, tindakan militer di lapangan menunjukkan sebaliknya.

Haaretz, sebuah outlet media Israel, mengatakan bahwa ini adalah “strategi komandan” yang bertujuan untuk mengevakuasi beberapa wilayah di bagian utara Gaza dan menduduki wilayah tersebut untuk kepentingan pemukiman ilegal Israel.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Katz mengatakan selama perjalanan baru-baru ini ke Koridor Nizarim bahwa Hamas tidak akan diizinkan untuk berkuasa di Gaza.

Hal ini semakin menegaskan bahwa jejak Israel sepenuhnya dirancang untuk mengusir orang-orang Palestina dari tanah air mereka secara permanen.

Sejak Oktober 2023, ketika konflik dimulai, lebih dari 44.400 warga Palestina dilaporkan tewas di Jalur Gaza, termasuk ribuan perempuan dan anak-anak.

Selain itu, lebih dari 105.000 orang terluka, dan jutaan orang menjalani kehidupan yang semakin sulit akibat blokade yang parah dan rusaknya infrastruktur penting.

Di Jalur Gaza, akses terhadap kebutuhan dasar seperti pangan, air bersih, dan listrik semakin terbatas. Juga di bagian utara Gaza, yang sepenuhnya dikepung Israel.

Laporan terbaru dari organisasi kemanusiaan menyebutkan bahwa lebih dari 80 persen masyarakat Gaza hidup dari bantuan internasional.

Sumber daya yang disengaja ini sering kali terhambat oleh kontrol yang ketat di perbatasan Israel.

Juru bicara PBB Stephane Dujarric baru-baru ini mengatakan bahwa bantuan kemanusiaan yang diizinkan oleh Israel tidak cukup untuk membantu seluruh rakyat di Jalur Gaza.

Dujarric menambahkan, pihaknya juga menargetkan Oktober 2024 sebagai tingkat terendah bantuan yang masuk ke Gaza pada tahun ini.

Kedua, Program Pangan Dunia (WFP) hanya mampu menjangkau setengah dari masyarakat berpenghasilan rendah yang bergantung pada bantuan.

Di tengah fragmentasi regional, krisis kemanusiaan, dan dinamika politik internasional, tampaknya semakin sulit untuk memahami solusi bersama, meskipun banyak negara di dunia yang membicarakannya setiap hari.

Solusi dua negara, yang bertujuan untuk menciptakan dua negara merdeka yang hidup dengan perbatasan internasional yang diakui, merupakan dasar dari banyak resolusi PBB.

Namun keputusan untuk membangun permukiman ilegal dan membagi wilayah Palestina menunjukkan kegagalan memenuhi tanggung jawab tersebut.

Di sisi lain, lemahnya diplomasi internasional menjadi kendala utama dalam memberikan tekanan kepada Israel.

Sebuah ancaman

Fragmentasi yang sedang berlangsung di wilayah Palestina merupakan hambatan yang lebih besar dalam mencapai solusi dua negara dibandingkan dengan hambatan yang dihadapi oleh PBB.

Solusi agar dua negara merdeka bisa hidup damai, kini nampaknya sudah jauh dari kenyataan.

Para pengamat berspekulasi bahwa tindakan Israel tidak hanya melanggar hukum internasional, namun juga merusak fondasi kepercayaan yang diperlukan untuk proses perdamaian.

Karena ketidakpedulian Israel terhadap pelanggaran hukum humaniter internasional, dengan bantuan komunitas internasional, pengadilan internasional memulai proses hukum terhadap Israel.

Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) pada Kamis (21/11) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Yoaf Galant atas tuduhan kejahatan perang.

Kepala Jaksa ICC Karim Khan mengatakan tidak ada dasar hukum untuk menunda penangkapan Netanyahu dan Yoaf Gallant. UE juga memastikan bahwa semua negara terikat untuk mematuhi keputusan ICC.

Selain itu, Mesir, Amerika, dan Qatar telah memutuskan untuk menghentikan kebijakan ini demi mengurangi penyebaran perang. Rencana tersebut mencakup diakhirinya serangan udara Israel, pelonggaran pengepungan di Gaza, dan diakhirinya serangan roket oleh Hamas.

Namun penerapan gencatan senjata ini menghadapi beberapa kendala. Israel menyerukan penghancuran total kelompok perlawanan Palestina Hamas, sementara Hamas ingin Israel mengakhiri pengepungan Gaza dan menarik pasukannya dari wilayah Palestina selamanya.

Menteri Luar Negeri Qatar Mohammad Bin Abdulrahman Al Thani baru-baru ini menekankan dalam pertemuan internasional bahwa keberhasilan gencatan senjata bergantung pada hak-hak internasional Palestina.

Mesir sebagai mediator utama diminta menghormati hukum internasional, termasuk resolusi PBB.

Saham Amerika Serikat

Sementara itu, Amerika nampaknya ikut berperan dalam perang ini. Meskipun pemerintahan Joe Biden mendukung inisiatif untuk mengakhiri konflik ini, penjualan senjata AS ke Israel terus berlanjut, begitu pula intervensi AS di Dewan Keamanan.

Memang benar, di tengah tuntutan internasional untuk mengakhiri perang, Pentagon menyetujui penjualan sistem pertahanan udara, termasuk sistem Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) dan senjata lainnya yang bernilai miliaran dolar.

Jerman juga menjadi salah satu negara yang memberikan senjata kepada Israel. Hubungan strategis Berlin dengan Tel Aviv yang dilandasi sejarah Holocaust menjadi salah satu penyebab terhambatnya aliran senjata ke negara ini.

Menurut laporan Amnesty International, penjualan senjata-senjata tersebut secara terus-menerus tidak hanya memperpanjang perang, tetapi juga melanggar hak asasi manusia di Palestina.

Situasi di Timur Tengah juga semakin meningkat seiring dengan mobilisasi politik Amerika. Kemenangan Donald Trump pada pemilu 2024 dan kembalinya dia ke Gedung Putih berpotensi mengubah kebijakan luar negeri AS secara signifikan terkait konflik Israel-Palestina.

Pada masa pemerintahan Trump sebelumnya, ia dikenal sebagai pendukung kuat Israel yang berperan penting termasuk pengakuan ibu kota Israel, Yerusalem, dan normalisasi hubungan Israel dengan beberapa negara Arab

Banyak pihak yang khawatir rencana serupa akan kembali diterapkan Trump sehingga dapat mengancam upaya perdamaian.

Namun banyak pengamat juga melihat peluang positif. Trump, dengan pendekatan pragmatisnya, bisa menggunakan kekuatannya untuk mendorong kesepakatan baru yang lebih menguntungkan kedua belah pihak, meski hal ini masih diragukan oleh banyak pihak.

Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa

Dalam situasi ini, komunitas internasional, khususnya PBB, perlu mengambil langkah nyata.

PBB sebagai penjaga perdamaian dunia mempunyai tugas besar untuk memastikan solusi dua negara, Palestina dan Israel, bukan soal kompromi.

Dewan Keamanan, meskipun sering terhambat oleh campur tangan negara-negara besar, harus didorong untuk melaksanakan perjanjian yang telah disepakati.

Sekretaris Jenderal PBB António Guterres baru-baru ini menyerukan penghormatan terhadap hukum internasional dan segera penghentian tindakan militer yang merugikan rakyat Palestina.

Ia juga menyoroti pentingnya dialog antara Israel dan Palestina untuk mencapai perdamaian abadi.

Dukungan politik dan diplomatik terhadap Palestina harus dibarengi dengan tekanan yang lebih besar terhadap Israel untuk meninggalkan kebijakan penghancuran dan pendudukannya.

Dalam hal ini, AS dan sekutunya berperan besar dalam memberikan tekanan lebih besar kepada Israel dan “berbagi hati” dalam penderitaan rakyat Palestina.

Keputusan menutup Jalur Gaza, bahkan penjualan benteng-benteng tersebut, lambat laun menghancurkan kedaulatan dan rakyat Palestina.

Upaya mewujudkan perdamaian yang sesungguhnya hanya dapat dilakukan jika hak-hak rakyat Palestina dihormati dan diberikan solusi bersama.

Krisis kemanusiaan di Palestina akan menjadi pengingat akan tingginya harga yang harus dibayar akibat konflik yang berkepanjangan.

Harapan masih ada. Dengan bantuan komunitas internasional, peran aktif PBB dan komitmen tulus semua pihak yang terlibat, solusi bersama masih dapat dicapai.

Sampai saat itu tiba, komunitas internasional harus berbicara dan bertindak demi keadilan dan perdamaian di Palestina.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *