Kabar Harapan

Memberikan Informasi Terupdate Dalam Negri & Luar Negri

Asa swasembada pangan melalui inovasi dan sains

JAKARTA (ANTARA) – Presiden Prabowo Subianto kembali mendukung tujuan swasembada pangan. Harapan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pangannya terletak pada ketahanan negara terhadap potensi krisis global berskala besar yang dapat memicu kebijakan pembatasan perdagangan.

Badai COVID-19 memberi kita pelajaran: pentingnya mencapai swasembada pangan. Ketergantungan pasokan pangan dari negara lain hanya akan menimbulkan ketidakpastian yang berdampak pada perekonomian dan tatanan sosial setempat.

Ketika krisis terjadi, faktor eksternal menjadi variabel yang sulit dikendalikan. Negara-negara di seluruh dunia akan membatasi ekspor pangan untuk menjamin pasokan dalam negeri. Akibatnya, negara-negara yang bergantung pada pasokan pangan luar negeri akan rentan mengalami kekurangan pangan. Harga pangan yang tidak terkendali dapat memicu peningkatan inflasi dan ketidakstabilan sosial.

Dalam konteks persaingan global, Indonesia juga menyadari bahwa dalam kondisi perekonomian dunia yang rapuh akibat konflik geopolitik, diplomasi pangan menjadi salah satu kunci efektif untuk memenangkan persaingan.

Pada tanggal 20 Oktober, Prabowo Subianto menegaskan dalam pidato pertamanya sebagai Ketua di gedung DPR/MPR/DPD RI bahwa Indonesia harus mencapai swasembada pangan dalam 4-5 tahun ke depan. Sebelum menjabat sebagai presiden kedelapan RI, Prabowo sudah menyusun peta jalan menuju swasembada pangan. Tim transisi pemerintahan yang terdiri dari Prabowo dan Joko Widodo, Presiden ketujuh Republik Indonesia, fokus pada mengintegrasikan sektor pertanian ke dalam visi Astasita untuk mendorong kemandirian pangan melalui swasembada pangan.

Di Astacita, pemerintah berharap dapat menjalankan agenda reforma agraria yang akan memperbaiki skema pusat produksi pangan atau petak pangan secara berkelanjutan, menciptakan setidaknya 4 juta hektar lahan pertanian baru dan meningkatkan kesejahteraan petani.

Kemudian, meningkatkan produktivitas pertanian melalui perbaikan infrastruktur untuk mendukung pertanian skala kecil, teknologi pangan terintegrasi, mekanisasi pertanian, inovasi digital (digital farming) dan manajemen rantai nilai pertanian.

Indonesia belum bisa dikatakan swasembada pangan, dan masih sangat bergantung pada pangan impor seperti beras, jagung, bahkan gandum. Ketergantungan impor beras juga terkait dengan terus menurunnya produksi beras dalam negeri.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional mengalami penurunan pada tahun 2023-2024. Produksi beras diperkirakan menurun dari 31,54 juta ton pada tahun 2022 menjadi 31,1 juta ton pada tahun 2023. Pada tahun 2024, produksi beras nasional diperkirakan kembali turun menjadi 30,34 juta ton.

Untuk memenuhi kebutuhan nasional, impor beras Indonesia mencapai 3,06 juta ton pada tahun 2023. Kemudian, impor beras pada Januari hingga September 2024 mencapai 3,23 juta ton.

Oleh karena itu, jika Prabowo ngotot mewujudkan swasembada pangan, semua pihak harus bahu-membahu mendukung tujuan tersebut. Pada tahun 1984, Indonesia mendapat penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) atas pencapaian swasembada pangan; oleh karena itu, memulihkan swasembada pangan bukanlah hal yang mustahil.

Berkat inovasi dan sains

Prabowo dan kabinet Merah Putih harus berupaya mencapai swasembada pangan melalui inovasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kerja sama yang aktif.

Inisiatif Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Kemendikti Saintek) dan beberapa perguruan tinggi merupakan langkah yang tepat.

Menteri Pertanian Amran menandatangani nota kesepahaman dengan lima perguruan tinggi negeri pada Selasa (29/10), yakni Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Hassandin (Unhas), Universitas Sumatera Utara (USU). . dan Universitas Syiah Kuala akan bersinergi untuk mencapai swasembada pangan. Kemitraan ini merupakan langkah awal bagi universitas lain untuk mengikuti jejaknya.

Melalui langkah tersebut, Mentan mendorong perguruan tinggi untuk memperkenalkan inovasi dan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian untuk mencapai swasembada pangan dalam waktu empat tahun.

Misalnya, perguruan tinggi didorong untuk menghasilkan benih dan bibit berkualitas tinggi yang dapat meningkatkan hasil. Benih milik Lembaga Penelitian Pertanian Bogor (IPB), IPB 3S, adalah salah satu contohnya, dengan hasil panen mencapai 13 ton per hektar, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional yang sekitar 5-6 ton per hektar.

Penggunaan benih yang berkualitas juga akan disesuaikan dengan kondisi lahan pertanian. Misalnya, penggunaan benih padi yang tahan terhadap air asin atau kondisi rawa harus disesuaikan dengan tantangan lingkungan setempat agar dapat mencapai hasil yang optimal.

Kerjasama dengan perguruan tinggi juga ditujukan untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM). Petani milenial diharapkan dapat berinovasi dan mengadopsi metode teknologi untuk meningkatkan produksi pertanian. Indonesia juga memiliki keunggulan demografis dan potensi pertanian Indonesia yang sangat besar.

Selain itu, mekanisasi dan benih berkualitas tinggi dapat melipatgandakan produktivitas sekaligus mengurangi biaya produksi. Secara tradisional, panen membutuhkan 25 orang. Namun dengan alat pemanen padi (harvester) multifungsi, satu orang bisa memanen dalam waktu empat jam,

Kementerian Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nasional juga memberikan dukungan kepada para peneliti ahli di bidang pertanian untuk membantu mereka mengembangkan inovasi terbaru. Peneliti dapat terlibat dalam identifikasi lahan dan penerapan teknologi pertanian dari hulu hingga hilir.

Peneliti kampus juga dapat dilibatkan dalam proses peningkatan efektivitas kerjasama antardepartemen, khususnya pada saat penerapan sawah baru. Situasi ini mencerminkan bahwa kebijakan pembukaan lahan yang diterapkan beberapa tahun terakhir juga berdampak pada tatanan sosial.

Kehadiran peneliti sangat penting di sini. Peneliti dapat memastikan bahwa pendekatan multidisiplin seperti antropologi dan ekologi mendasari seluruh upaya untuk memastikan bahwa peningkatan produktivitas pertanian tidak bersinggungan dengan stabilitas sosial dan budaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *