Jakarta (ANTARA) – Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai transisi energi Indonesia belum membuahkan hasil karena terhambat oleh kurangnya komitmen politik pemerintah.
Hal ini tercermin dari komposisi bahan bakar fosil yang terus meningkat, dengan pasokan listrik dari kogenerasi juga mencapai titik tertinggi dalam lima tahun terakhir, sementara pertumbuhan energi terbarukan jauh lebih rendah. Selain itu, intensitas energi masih berada di bawah target yang ditetapkan KEN.
“UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang tujuan utamanya adalah transisi energi, nampaknya bertentangan dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang baru, yang justru menurunkan target bauran energi terbarukan sebesar 17- 19. persen. pada tahun 2025 dan targetnya pada tahun 2045,” kata CEO IESR Fabby Tumiwa dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Apalagi, sejak diperkenalkannya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang dihadirkan sebagai RUPTL hijau, belum terlalu membawa perubahan berarti.
IESR meyakini transisi energi Indonesia berada di persimpangan antara terus mengakomodasi kepentingan ekonomi dan politik industri bahan bakar fosil atau segera beralih ke energi terbarukan dan membangun ekonomi rendah karbon.
IESR mencatat, keragu-raguan dalam menentukan arah dan kecepatan transisi energi dapat membahayakan pencapaian target nol emisi karbon (NZE) sebelum tahun 2050, seperti yang dicanangkan Presiden Prabowo dalam pernyataannya pada KTT G20 di Brasil.
Fabby mengatakan transisi energi tahun 2024 masih dalam tahap konsolidasi, didorong oleh pergantian kepemimpinan nasional dengan tujuan dan prioritas baru serta kondisi ketidakpastian perekonomian global.
Berdasarkan Transition Readiness Framework (TRF) yang dikembangkan IESR sejak tahun 2022, para pemangku kepentingan ekonomi menganggap konsistensi kebijakan dan kepemimpinan sebagai salah satu hambatan terbesar dalam agenda transisi energi Indonesia.
Hal yang sama juga terlihat pada TRF 2024, dimana meskipun terdapat kemajuan yang signifikan dalam daya saing teknologi dan bahan bakar rendah karbon, transisi energi masih terhambat oleh kurangnya komitmen politik, peraturan yang tidak menarik, dan tata kelola yang tidak mendukung.
Fabby mengatakan tahun 2025 akan menjadi masa kritis untuk merumuskan strategi dan kebijakan reformasi yang bertujuan untuk mempercepat transisi energi yang adil dan efisien. Beliau juga membahas strategi pemerintah yang fokus pada teknologi penyimpanan dan penangkapan karbon (CCS/CCUS) yang belum matang, mahal dan berisiko dibandingkan dengan teknologi tenaga surya dan angin, serta baterai atau penyimpanan energi yang sudah tersedia di pasaran dan harganya semakin kompetitif. . .
Pada saat yang sama, banyak negara di seluruh dunia berkomitmen pada COP-28 pada tahun 2023 untuk berkontribusi pada upaya global untuk menggandakan (tiga kali lipat) dan tiga kali lipat (tiga kali lipat) efisiensi energi pada tahun 2030. Komitmen ini akan meningkatkan peluang investasi dan pembiayaan di bidang energi terbarukan dan energi terbarukan. efisiensi energi.
Kabar baiknya, Presiden Prabowo Subianto saat KTT G20 di Brasil mengatakan bahwa Indonesia akan menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara pada tahun 2040. Hal ini sebenarnya sejalan dengan amanat Perpres 112/2022 untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara. pada tahun 2040. pembangkit listrik tenaga batu bara sebelumnya. serta kehidupan ekonominya,” jelasnya.
Sebelumnya, pada KTT APEC, Presiden mengatakan Indonesia akan mencapai 100% energi terbarukan dalam waktu 10 tahun. Fabby meyakini misi tersebut bukan mustahil jika dibarengi dengan upaya penerapan reformasi kebijakan, regulasi komprehensif, dan perencanaan sistem ketenagalistrikan yang terintegrasi sehingga dapat menjamin ketahanan energi dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sebesar 8%.
Dalam kesempatan yang sama, Raditya Wiranegara, Kepala Riset IESR sekaligus penulis KIETO 2025 mengungkapkan, semua sektor masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, baik itu penggunaan batu bara, liquefied petroleum gas (LPG), dan bahan bakar minyak (BBM). . ) dominan. ).
Di sektor ketenagalistrikan, 81% energinya akan bersumber dari energi fosil pada tahun 2023. Selain itu, kapasitas PLTU di luar wilayah usaha PLN (captive) akan meningkat menjadi 21 GW pada tahun 2023 sehingga berkontribusi terhadap peningkatan emisi sebesar 27% pada tahun yang sama.
Selain itu, sebanyak 87% rumah tangga menggunakan LPG bersubsidi, dengan total subsidi mencapai Rp 83 triliun pada kuartal keempat tahun 2024. Sebaliknya, energi terbarukan memberikan kontribusi yang sangat kecil terhadap bauran energi. Misalnya, di sektor industri, energi terbarukan hanya mewakili 6,52 persen dari total energi yang digunakan.
“Pemerintah harus membuat kemajuan dalam menghapuskan subsidi bahan bakar fosil secara bertahap dan mengalihkan subsidi ke sektor energi terbarukan. Selain itu, pernyataan Presiden Prabowo tentang pensiun dini pembangkit listrik tenaga batubara pada tahun 2040 harus segera dilaksanakan, dimulai dari PLTU yang paling tidak efisien, bukan melengkapi PLTU dengan teknologi CCS/CCUS, kata Raditya.
Berdasarkan analisis IESR, lanjutnya, penarikan dini PLTU Cirebon-1 misalnya, membutuhkan biaya pengurangan karbon sekitar US$31-40/tCO2e, lebih rendah dibandingkan CCS yang mencapai 62 hingga 324 US$. /tCO2e.
Selain itu, pemerintah juga harus memperkuat pengawasan terhadap PLTU milik sendiri dan mendorong industri untuk beralih ke energi terbarukan, jelas Raditya.
Leave a Reply