Jakarta (ANTARA) – Pemerintah berpotensi menyerap penerimaan negara sebesar Rp 75 triliun dari kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025.
“(Potensi pendapatan) sekitar Rp75 triliun,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu saat Rapat Kementerian Perekonomian di Jakarta, Senin.
Menurut dia, pemerintah terus mendengarkan aspirasi masyarakat dalam merumuskan kebijakan PPN, khususnya terkait prinsip keadilan.
Terkait dengan hal tersebut, meski pemerintah memutuskan kenaikan tarif PPN sebesar 12 persen akan tetap berlaku mulai 1 Januari 2025, namun pemerintah tetap menawarkan opsi pembebasan pengenaan PPN.
Insentif pajak yang diberikan pemerintah untuk pembebasan PPN pada tahun 2025 diperkirakan mencapai Rp 265,5 triliun, rincian pangan hingga Rp 77,1 triliun, insentif UKM Rp 61,2 triliun, transportasi Rp 34,4 triliun, pendidikan dan kesehatan Rp 30,8 triliun, dan asuransi Rp 30,8 triliun. .9,9 triliun. triliun, otomotif dan properti Rp 15,7 triliun, listrik dan air Rp 14,1 triliun, zona bebas Rp 1,6 triliun, serta insentif ibadah dan sosial Rp 700 miliar.
Sedangkan barang dan jasa yang termasuk dalam kategori premium dikenakan tarif PPN sebesar 12 persen, yang meliputi bahan makanan premium (misalnya: wagyu dan salmon), layanan pendidikan premium, layanan kesehatan medis premium, serta listrik untuk pelanggan rumah tangga. 3.500-6.600 VA.
“Kita pastikan kita melindungi masyarakat miskin dan rentan. Yang mampu membayar tentunya sesuai undang-undang. Kita jamin prinsip keadilan,” kata Febrio.
Adapun informasi lebih lanjut mengenai barang dan jasa yang dikenakan pajak pertambahan nilai 12 persen dan insentif akan diatur dalam peraturan selanjutnya, yang dapat berupa perintah menteri atau perintah pemerintah.
Febrio juga mengatakan pemerintah akan terus memantau perkembangan dan pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). “APBN tahun depan belum dimulai, tapi akan kami kelola,” ujarnya.
Leave a Reply