Kabar Harapan

Memberikan Informasi Terupdate Dalam Negri & Luar Negri

Selangkah menuju industri berbahan bakar hidrogen

Jakarta (Antara) – Pada pukul 07.00 WIB, lalu lintas di Jalan Lenteng Agung, Jakarta Selatan sudah padat karena banyaknya kendaraan yang menuju ke tujuan yang sama, yakni kantor, sekolah, dan pasar, karena jalan ini menghubungkan Kota Depok dengan Ibu Kota Is.

Mengutip angka Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), pemborosan bensin akibat kemacetan di perkotaan mencapai 2,2 juta liter per hari pada tahun 2019.

Tak hanya itu, asap kendaraan juga turut menyumbang pencemaran udara, tak terkecuali asap pabrik industri di seluruh Jakarta.

Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah telah menyusun peta jalan pengembangan hidrogen hijau yang bertujuan untuk mencapai net zero emisi pada tahun 2025 yang harus dicapai Indonesia pada tahun 2050.

Hidrogen hijau adalah hidrogen yang dihasilkan dengan memisahkan air menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan seperti angin, matahari, atau pembangkit listrik tenaga air. Proses ini disebut elektrolisis, yang hanya menghasilkan hidrogen dan oksigen. Hidrogen hijau dianggap ramah lingkungan karena tidak menghasilkan emisi karbon.

Hidrogen hijau berpotensi menjadi sumber energi utama yang berkelanjutan dan efisien. Hidrogen dapat digunakan untuk pembangkit listrik, industri tenaga listrik, dan transportasi. Hidrogen ramah lingkungan juga dapat menjadi solusi untuk mengurangi jejak karbon di sektor-sektor yang sulit melakukan dekarbonisasi, seperti industri berat dan transportasi.

Indonesia mempunyai potensi besar dalam pengembangan hidrogen ramah lingkungan karena sumber daya energi terbarukan yang melimpah. Tercapainya bahan bakar ramah lingkungan tentunya memerlukan komitmen bersama para pengambil kebijakan yang tentunya didukung oleh para pelaku usaha sebagai penggunanya.

Ekosistem hidrogen

Perwujudan bahan bakar hidrogen yang ramah lingkungan tentunya memerlukan ekosistem atau jaringan yang kompleks yang mencakup produksi, penyimpanan, distribusi, dan penggunaan. Dalam hal ini, hidrogen hijau merupakan salah satu komponen utama ekosistem hidrogen.

Muhammad Alhakurrahman Isa, Koordinator Pelayanan dan Pengawasan Berbagai Usaha Energi Baru dan Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, menjelaskan peta jalan hidrogen hijau disusun dengan pendekatan berbasis permintaan. Perkiraan kebutuhan hidrogen untuk kebutuhan dalam negeri pada tahun 2060 mencapai 9,2 juta ton, sedangkan perkiraan produksinya bisa mencapai 17 juta ton dengan harapan sebagian produksi dapat dipenuhi untuk kebutuhan ekspor.

Fase peluncuran antara tahun 2025 dan 2034 akan fokus pada persiapan seperti peta jalan, studi kelayakan, kelompok fokus, dan proposal insentif.

Meluasnya penggunaan energi terbarukan akan berdampak pada perkembangan industri pembangkit energi terbarukan, termasuk mendukung ekosistem hidrogen hijau yang lebih efisien dan murah.

Perkiraan kebutuhan hidrogen untuk kebutuhan dalam negeri pada tahun 2060 mencapai 9,2 juta ton, sedangkan perkiraan produksinya bisa mencapai 17 juta ton dengan harapan sebagian produksi dapat dipenuhi untuk kebutuhan ekspor.

Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, dalam hal pengembangan rantai pasokan pembangkit energi terbarukan. Potensi energi terbarukan yang melimpah di Indonesia telah mencapai 3.687 GW, cukup untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri.

Namun, untuk memanfaatkan potensi tersebut, perlu dikembangkan rantai pasokan energi terbarukan untuk memungkinkan akses terhadap energi terbarukan dengan harga yang kompetitif dan terjangkau serta menjamin keamanan energi yang berkelanjutan.

Selain itu, terdapat kebutuhan akan energi terbarukan dalam upaya mengurangi emisi dalam produksi energi ramah lingkungan dan produksi hidrogen ramah lingkungan. Khusus untuk teknologi energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga angin/angin (PLTB), terdapat minat pasar yang kuat yang dapat dikembangkan di Indonesia, diperkuat dengan melimpahnya ketersediaan mineral kritis di Indonesia terjadi.

Hilir

Farid Wijaya, analis senior bahan dan energi terbarukan di IESR, mengatakan sebagai langkah awal, pemerintah dapat memanfaatkan potensi mineral Indonesia yang signifikan sebagai bagian dari program hilir. Melalui program ini, pemerintah dapat mengembangkan PLTS, industri turbin angin, dan produksi baterai sebagai sarana penyimpan listrik yang sangat bergantung pada ketersediaan mineral kritis. Hal ini penting agar kita dapat memenuhi kebutuhan PLTS dan PLTB dalam negeri serta menjadikan pasar dalam negeri sebagai pasar utama dan prioritas.

Dalam Peta Jalan Net Zero Emissions (NZE) Sektor Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), Indonesia memproyeksikan kapasitas PLTS sebesar 115 GW pada tahun 2060, yang diperkirakan membutuhkan investasi sekitar US$110,6 miliar.

Indonesia mempunyai peluang untuk memastikan bahwa investasi ini dipenuhi oleh industri dan jasa dalam negeri, khususnya untuk keseimbangan komponen modul surya, sistem dan komponen sistem.

Biaya pembangunan dan tenaga kerja terkonsentrasi di pasar domestik sehingga berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi domestik. Hal ini sejalan dengan tujuan pemerintah Indonesia yang berupaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga delapan persen.

Dengan kesiapan industri dan jasa yang baik, Indonesia berpotensi memanfaatkan sekitar 90 persen nilai investasi untuk pengembangan pasar PLTS dalam negeri.

Perhitungan ini hanya dari perkiraan kapasitas pembangkit, belum termasuk kebutuhan produksi hidrogen, artinya bisa terus meningkat.

Rantai pasok PLTS di Indonesia lebih maju dibandingkan sumber energi terbarukan lainnya seperti PLTB dan baterai. Program hilirisasi produk pertambangan, khususnya yang tergolong mineral kritis, juga berpotensi mempercepat pengembangan industri pembangkit energi terbarukan, khususnya baterai, modul surya, dan turbin angin.

Hal ini dapat mendorong percepatan adopsi energi terbarukan dan keamanan rantai pasokan dengan memastikan bahwa hal tersebut diadopsi sebagai bagian dari ketahanan energi nasional dan kemandirian rantai pasokan untuk teknologi energi terbarukan.

Menurut Farid, pentingnya membangun ekosistem energi terbarukan bermula dari kerangka kebijakan dan peraturan yang mendukung pasar energi terbarukan di Indonesia. Penerapan kebijakan ini akan memberikan rasa aman dalam berinvestasi. Sementara itu, peta jalan tersebut dapat memberikan arah kebijakan nasional yang jelas dan membentuk permintaan pasar domestik terhadap adopsi energi terbarukan.

Oleh karena itu, langkah-langkah utama yang diperlukan antara lain menyusun peta jalan peningkatan penggunaan sumber energi terbarukan dan industri manufaktur terkait sebagai bagian dari program hilir. Selain itu, pemerintah harus menciptakan mekanisme pembiayaan, insentif, dan lain-lain yang jelas dan mudah diakses.

Subsidi untuk industri energi terbarukan.

Pemerintah juga harus memanfaatkan bahan baku dalam negeri melalui program hilirisasi dan memastikan penguasaan pasar produksi sesuai kebutuhan dan prioritas nasional.

Dari sisi dukungan, pemerintah harus segera menjadikan energi terbarukan lebih terjangkau, mendorong produk industri manufaktur lokal agar masuk pasar melalui mekanisme pengadaan khusus, mengurangi atau menghilangkan subsidi energi fosil, dan menerapkan strategi penguatan pengendalian. Program Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola (ESG) di berbagai lembaga pemerintah dan swasta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *