Kabar Harapan

Memberikan Informasi Terupdate Dalam Negri & Luar Negri

Penenun terakhir suku Osing jaga budaya lewat wastra

JAKARTA (ANTARA) – Hangatnya sinar matahari menemani perjalanan melewati gang tak terlalu lebar di Desa Jambasari, Kecamatan Jiri, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Tak jauh dari gang, para tamu disambut senyum berseri di wajah Siami, perajin kain tenun tradisional Banyuwangi ‘terakhir’.

Wanita berusia 74 tahun ini merupakan generasi ketiga yang masih aktif terlibat dalam pembuatan kain tradisional yang rumit. Merupakan kewajiban yang kuat bahwa ia harus meneruskan warisan budaya Banyuwangi secara turun temurun.

Berjalan dengan sedikit membungkuk, namun dengan langkah yang kuat dan mantap, orang Siam kemudian berjalan menuju sebuah aula (jaminan) di depan rumahnya. Aula kayu menggambarkan berapa tahun telah berlalu.

Langit-langit di sisi kanan dan kiri aula dihiasi dengan anyaman bambu yang terlihat usang, namun dengan hiasan kain berwarna merah putih pada langit-langitnya. Dekorasinya juga membuatnya lebih manis dan memberikan perasaan penuh gairah.

Aula yang mampu menampung sekitar empat orang penenun, termasuk alat tenun, ini juga dihiasi dengan daun kelapa kuning yang mencerahkan suasana, seolah siap menjadi panggung karya Siam.

Matahari terus terbit. Sambil duduk di depan alat tenun leluhur, ia mulai menenun kain khas suku Hausing, Banyuwangi. Kulit yang mulai kendur dan dipenuhi kerutan tak mampu membendung semangat orang Siam untuk terus menenun yang ditenun beberapa sentimeter itu.

Sesekali dia akan menarik benang yang ditutupi putrinya, Ariana, untuk dipasangkan pada alat tenun untuknya.

Dalam kesehariannya, Siami yang tak lagi tajam penglihatannya, mulai merajut dari jam 6 pagi hingga jam 4 sore. Sementara itu, ia menjalankan ibadah pada siang dan jam 12 siang, serta istirahat makan.

Kegiatan dilanjutkan setelah salat magrib. Hanya saja kali ini tidak menenun. Dia memintal benang untuk persiapan keesokan harinya. Meski bukan produksi kami sendiri, namun benang yang dibeli dari Surabaya harus dilapis agar tidak kusut saat ditenun.

Sepotong kain tenun yang membutuhkan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, untuk menyelesaikannya. Proses pembuatan kain ini dilakukan dengan cara memilih benang dari gulungan sesuai rencana motif yang akan dibuat, mengeringkan benang, meregangkan benang, memintal kemudian menenun.

Harga kain tenun yang diproduksinya pun tidak murah. Pasalnya, proses produksinya memakan waktu yang cukup lama, sepotong kain tenun motif Soluk berukuran kurang lebih 3 meter x 60 centimeter ini diproduksi selama lebih dari sebulan, sehingga rumitnya motif tersebut tentunya akan mempengaruhi harga dari kain tersebut. kain.

Kain tenun suku Osing terdiri dari berbagai motif antara lain kalwang, gadog, dan sulok. Motif sulok mempunyai bentuk motif yang banyak, terdiri dari garis mendatar, segitiga, titik berbentuk ketupat dan bentuk seperti jam pasir.

Tenun ini digunakan dalam berbagai kesempatan seperti pernikahan atau upacara jubah, prosesi peringatan kematian bahkan menggendong bayi baru lahir suku Osing.

Apalagi benang kini harus dibeli dari Serbia, yang tentunya menjadi kendala lain dalam proses produksi kain sakti khas Osing.

Siami, penenun terakhir marga Osing, ditemui di kediamannya di Desa Jambasari, Kecamatan Jiri, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur pada Jumat (8/11/2024). ANTARA/ (Sinta Amber) menghadapi tantangan tersebut

Siami belajar menenun sejak tahun 1965 dan merupakan anak tunggal. Dalam bahasa Osing, ia menjelaskan bahwa sejak kecil ia hanya diperbolehkan melihat ibunya menenun dan memintal benang.

Sebab, alat yang dimilikinya hanya satu, dan jika orang Siam belajar menggunakannya maka akan mengganggu produksi tenun ibunya.

Konon ibu Siami meninggal dunia pada tahun 2000. Siami yang sebelumnya hanya belajar memintal benang dan menyaksikan proses menenun, ingin meneruskan tradisi menenun tersebut. Saat memintal benang dan menenun, orang Siam sering mencoba namun akhirnya gagal. Kegagalan demi kegagalan tidak menyurutkan tekadnya.

Sementara mitos tersebut beredar, penduduk setempat menyarankan orang Siam untuk berziarah ke makam ibunya dan meminta izin (untuk menghubungkan energi jiwanya dengan energi ibunya) untuk menggunakan alat tenun warisan. Pastinya, tak lama setelah menunaikan ibadah haji, kain tenun siam berhasil melalui beberapa proses tenun yang rumit hingga akhirnya menjadi sebuah kain yang penuh makna.

Dahulu sebuah keluarga di Desa Jambasari mempunyai banyak alat tenun. Pasalnya, masih banyak keturunan yang meneruskan budaya lokal ini, namun seiring berjalannya waktu, banyak kerabat yang merantau ke berbagai kota, dan proses pembelajaran yang lama juga menjadi kendala lainnya. Persoalannya, budaya menenun pada akhirnya semakin tergerus, hanya menyisakan suku Siam saja.

Salah satu putrinya, Ariana (43), yang selama ini belajar memintal benang, berharap bisa segera bisa menggunakan alat tenun simulasi tersebut. Sedangkan untuk menenun, ia menyimpulkan perlu ketelitian tinggi. Jika salah dalam membuat pola maka kain tenun akan terpotong sehingga benang terbuang sia-sia, sedangkan mengulangi penenunan dari awal akan memakan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu ketelitian dan jam terbang merupakan hal terpenting yang dibutuhkan dan keterampilan dasar menenun.

Tak ingin budaya tenunnya punah, menantu Siam, Bosana, mengaku kini telah menggandakan alat tenun kayu tersebut agar keturunan Siam bisa meneruskan tradisi menenun tersebut.

Sedangkan untuk alat tenun replikanya, alatnya dibuat dengan rangka kayu dengan menggunakan bahan lokal asal banyuwangi. Sejauh ini alat tersebut masih dalam tahap penyempurnaan dan belum bisa digunakan.

Bosana berharap alat ini bisa digunakan tahun depan. Salah satu bagian alat tenun yang sulit ditiru adalah sisir atau sisir yang berfungsi untuk menyusun motif dan corak pada kain tenun. Bagian ini sebenarnya sempat mengalami kendala pada saat proses produksi karena tidak ditemukan bahan yang sama persis.

“Saat ini saya sudah punya bahannya, tapi belum dipakai karena harus melengkapi bahan lain seperti sisir dan alat lainnya. Mudah-mudahan tahun depan bisa dipakai,” kata Bosana kepada ANTARA.

Sementara itu, Kepala Desa Jambasari, Muhammad Ali Mansoor berharap tenun Osing tidak hanya berhenti di Siami saja. Generasi muda lainnya tetap didorong untuk belajar menenun dan turut serta melestarikan budaya luhur ini.

Ia juga berharap PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) yang sebelumnya menghadirkan hadiah berupa ‘pahlawan lokal’, dapat menjadi katalis bagi generasi muda untuk belajar menenun. Mansoor juga akan memberikan pelatihan pemasaran produk tenun siam agar bisa memperluas pasar.

Pasalnya, hingga saat ini Siami hanya menerima pesanan dari masyarakat di wilayah Banyuwangi. Menanggapi permasalahan yang ada, ia berupaya menambah peralatan agar selain bisa melatih generasi muda, ia juga bisa mendukung produksi kain tenun khas Laosing.

Siami sebelumnya pernah mendapat penghargaan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) bertajuk “Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) 2024” pada kategori pelestarian penenun sastra Osing. Penghargaan ini diberikan karena masyarakat Siam diyakini telah berjasa dalam kemajuan kebudayaan Indonesia.

Sejarawan dan budayawan Tempo Dolo Club (komunitas penggiat sejarah dan budaya Indonesia) Alan Akbar menilai, mengingat budaya tenun suku Osing yang kini hanya tersisa satu penenun, maka kain tersebut dibuat oleh suku asli Beniwangi. yang diyakini sebagai keturunan Kerajaan Balmbangan, merupakan peninggalan kerajinan yang memiliki makna sejarah.

Menurutnya, jika kita berbicara tentang kain adat banyuwangi, khususnya dari suku Osing, maka kita berbicara tentang kekayaan budaya yang tidak hanya bernilai seni tetapi juga sarat akan makna sejarah.

Motif pada kain Osing unik dan penuh filosofi menggambarkan jati diri masyarakat setempat. Pewarnaan alami dan teknik yang digunakan sangat luar biasa dan menunjukkan warisan kearifan lokal kuno.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *