Kabar Harapan

Memberikan Informasi Terupdate Dalam Negri & Luar Negri

ReforMiner: Fleksibilitas regulasi kunci hadapi tantangan hulu migas

Jakarta (Antara) – The Reformer Institute, lembaga kajian ekonomi energi, menyatakan peninjauan kembali peraturan pemerintah pada seluruh kontrak yang didistribusikan tahun 2017 dan Peraturan Eksekutif Nomor 35 Tahun 2017 tentang insentif pajak di sektor minyak dan gas bumi, yakni. Penerapannya diperlukan karena peraturan tersebut sudah tidak relevan lagi dengan tantangan sektor migas saat ini.

“Ketidakpastian global dan persaingan investasi yang ketat memerlukan lebih banyak fleksibilitas dalam kebijakan fiskal untuk menarik minat investor,” Komi Nottoniguru, direktur eksekutif Reformer Institute yang berbasis di Jakarta, mengatakan pada hari Rabu.

Menurut Komedian, salah satu poin penting yang menjadi sorotan adalah sistem bagi hasil dalam seluruh pembagian kontrak. Pasal 17 dan Pasal 31 Peraturan Eksekutif 35/2017 tidak cukup fleksibel untuk mengakomodasi kawasan marginal dan kawasan sulit akses.

Selain itu, investor kerap mengeluhkan belum adanya kepastian hukum mengenai mekanisme pengawasan fasilitas perpajakan.

“Negara-negara lain menawarkan insentif yang lebih kompetitif, seperti kredit investasi dan keringanan pajak atas dividen. Jika Indonesia tidak segera tumbuh, kita akan semakin tertinggal,” kata Comey.

Para reformis ini menekankan bahwa daerah-daerah tertinggal memerlukan insentif tambahan untuk menarik investasi. Salah satu opsinya adalah mempercepat amortisasi biaya proyek dan pengurangan pajak berbasis kinerja. Berdasarkan data SKK Migas tahun 2024, dari 166 lapangan migas yang masih beroperasi, masih terdapat 65 cekungan yang belum tersentuh.

Kurangnya motivasi berarti eksplorasi daerah baru tidak dilakukan dengan baik, tambahnya.

Selain itu, tambah Comey, revisi PP Nomor 27 Tahun 2017 juga diperlukan untuk meningkatkan persaingan di tengah ketidakpastian harga energi global. Harga minyak internasional yang berfluktuasi mengancam keekonomian proyek, terutama di wilayah operasional yang berisiko tinggi.

Komedi memperkirakan revisi aturan tersebut bisa mencakup pengurangan pajak bumi dan bangunan (PBB) hingga 100 persen serta pembebasan pajak bumi dan bangunan atas impor produk migas.

“Investor membutuhkan fleksibilitas finansial untuk menjaga keekonomian proyeknya di Indonesia,” tegasnya.

Transisi energi juga merupakan tantangan strategis yang memerlukan reformasi kebijakan. Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) tahun 2017, minyak dan gas akan menyumbang 34-44 persen bauran energi pada tahun 2050. Namun, insentif yang ada saat ini tidak cukup untuk mendukung proyek-proyek yang sejalan dengan energi rendah karbon, seperti gas alam dan pembangkit listrik tenaga panas. Comey mencatat perlunya insentif khusus agar proyek-proyek ini tetap relevan di era transisi energi global.

Revisi PP no. UU Nomor 35 dan PP Nomor 27 juga dinilai penting untuk meningkatkan investasi di sektor migas. Data menunjukkan pada tahun 2023, perolehan investasi di sektor migas mencapai 30,3 miliar dolar, meningkat 11 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, jumlah ini masih rendah dibandingkan negara pesaing yang menawarkan insentif finansial yang kuat.

“Reformasi regulasi diperlukan agar Indonesia dapat bersaing secara global dan menarik investasi strategis,” ujarnya.

Al-Khamidi juga menjelaskan, regulasi perpajakan juga menjadi perhatian utama, khususnya dalam pemanfaatan aset dan fasilitas pemerintah. Pasal 26 pada hal. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2017 memberlakukan izin penggunaan fasilitas bersama, seperti pengolahan, penyimpanan, dan pengangkutan di tempat, namun dengan pengawasan yang ketat.

Ia berkata: “Bisnis menganggap prosedur yang ada saat ini terlalu rumit dan tidak efektif. Modifikasi mekanisme tersebut diharapkan dapat memberikan kepastian lebih kepada investor.”

Kebutuhan mendesak untuk meninjau kembali peraturan-peraturan tersebut juga muncul dari kebutuhan untuk mempercepat proses eksplorasi dan pengembangan kawasan baru. Data SKK Megas menunjukkan ada 43 penemuan yang belum dikembangkan yang mampu menghasilkan 50.000 barel per hari jika ditingkatkan. Namun perkembangan ini perlu didukung oleh kebijakan yang lebih ramah investor.

“Kita harus memastikan bahwa kebijakan kita sejalan dengan kondisi pasar dan kebutuhan internasional,” kata Alkomedi dalam diskusi bertajuk “Dialog dengan para reformis minyak dan gas.”

Al-Khamidi menambahkan, jika langkah revisi tidak segera dilakukan, ekspektasi devisa impor migas akan terus berlanjut. Reformer Institute mencatat kebutuhan devisa untuk impor migas mencapai Rp 380,4 triliun pada tahun 2023, dengan perkiraan sebesar Rp 1.391 triliun pada tahun 2030 jika mengacu pada skenario RUEN. Situasi ini dapat diperburuk oleh kurangnya eksplorasi baru dan ketergantungan pada impor.

Menurut Comey, reformasi regulasi di sektor migas harus segera dilaksanakan untuk menjamin keberlanjutan sektor tersebut.

“Indonesia mempunyai potensi yang besar, namun tanpa kebijakan yang efektif dan progresif, sektor migas kita akan kehilangan daya saingnya,” kata guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *