Jakarta (ANTARA) – Inflasi merupakan suatu kondisi dimana harga barang dan jasa secara umum mengalami kenaikan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Definisi ini digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk memahami inflasi dalam negeri dan berfungsi sebagai panduan untuk melaporkan tingkat inflasi bulanan dan tahunan suatu negara.
Angka inflasi sangat penting karena merupakan indikator utama kondisi perekonomian suatu negara. Inflasi yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menimbulkan masalah. Inflasi yang tinggi menurunkan daya beli konsumen karena harga barang dan jasa meningkat lebih cepat dibandingkan pendapatannya. Inflasi yang tinggi juga dapat mendorong bank sentral untuk merespons kenaikan suku bunga utama dan lambatnya pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya, inflasi yang terlalu rendah dapat berisiko terjadinya deflasi atau penurunan harga-harga umum secara terus-menerus. Deflasi yang berkepanjangan dapat menyebabkan perekonomian stagnan karena konsumen mengantisipasi penurunan harga lebih lanjut dan cenderung menunda pembelian, sehingga mengurangi permintaan. Pendapatan dunia usaha juga menurun akibat menurunnya permintaan sehingga sulit menaikkan upah pekerja, dan dengan pengurangan tenaga kerja maka biaya operasional juga harus dikurangi.
Inflasi yang moderat dianggap sehat bagi perekonomian. Inflasi yang moderat diyakini mampu merangsang konsumsi sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, inflasi yang moderat membantu menjaga stabilitas harga, sehingga memberikan lingkungan yang lebih dapat diprediksi bagi dunia usaha dan investor. Artinya, kepercayaan pasar dapat meningkat dan mendukung investasi jangka panjang.
Pada tahun 2024, Bank Indonesia (BI) menetapkan sasaran inflasi sebesar 2,5±1 persen. Dengan kata lain, bank sentral ingin inflasi Indonesia tahun ini berada pada kisaran 1,5-3,5 persen untuk menjaga stabilitas harga dan mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Akhir dari deflasi
Menjelang akhir pekan, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi bulanan atau bulanan (mtm) akan mencapai 0,08 persen pada Oktober 2024. Inflasi pada Oktober tahun ini menandai berakhirnya deflasi di Indonesia yang telah terjadi selama lima tahun. bulan berturut-turut, sehingga inflasi year-on-year (y/y) mencapai 1,71 persen, masih berada dalam target bank sentral.
Pada periode Mei hingga September 2024, Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,03 persen, 0,08 persen, 0,18 persen, 0,03 persen, dan 0,12 persen. Banyak ekonom yang menyebut tren deflasi ini sebagai tanda melemahnya daya beli masyarakat.
Namun jika dicermati, inflasi inti (mtm) pada periode tersebut masih terus meningkat yakni sebesar 0,17, 0,1, 0,18, 0,2, dan 0,16 persen. Pada Oktober 2024, inflasi inti (mtm) juga mengalami kenaikan sebesar 0,22 persen dan 2,21 persen secara tahunan.
Inflasi inti adalah ukuran inflasi yang menghitung perubahan harga barang dan jasa, tidak termasuk barang-barang yang sangat fluktuatif seperti makanan dan energi. Tujuan penghitungan inflasi inti adalah untuk memberikan gambaran yang lebih stabil mengenai tekanan inflasi dalam perekonomian dan untuk mencerminkan pola harga yang lebih mendasar serta membantu bank sentral merumuskan kebijakan yang tepat.
Ketika terjadi deflasi, namun inflasi inti terus meningkat, maka hal tersebut menjadi permasalahan yang kompleks dan dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Inflasi inti yang terus meningkat dapat mengindikasikan ekspektasi inflasi yang masih positif di kalangan konsumen dan pelaku usaha. Sekalipun terjadi deflasi, mereka masih yakin akan permintaan di masa depan.
Inflasi inti yang terus meningkat pada saat deflasi juga menunjukkan adanya komponen harga yang terus meningkat meskipun terjadi tekanan inflasi di sektor lain, karena kuatnya permintaan di beberapa sektor, seperti jasa atau barang non-volatile.
Menyikapi fenomena tersebut, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter juga harus lebih berhati-hati dalam menetapkan kebijakan moneternya. Karena meskipun biasanya terjadi penurunan harga, terdapat juga potensi risiko inflasi yang perlu diwaspadai.
Pada pertengahan bulan Oktober, rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan suku bunga utama sebesar 6 persen. Menurut bank sentral, keputusan tersebut sejalan dengan arah kebijakan moneter untuk memastikan inflasi terkendali pada sasaran 2,5±1 persen pada tahun 2024 dan 2025, dengan tetap mendukung upaya penguatan pertumbuhan ekonomi.
Deflasi yang terjadi pada akhir bulan Oktober dapat diartikan bahwa daya beli masyarakat mulai pulih, dan konsumsi kembali meningkat, yang kemudian diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan berakhirnya deflasi, bank sentral juga dapat mengubah kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa takut akan penurunan harga yang terus-menerus.
Untuk menjaga daya beli masyarakat
Belum ada data pasti berapa tingkat inflasi yang dianggap ideal. Sebagian besar negara menargetkan tingkat inflasi antara 2 dan 3 persen per tahun, yang dianggap sebagai tingkat inflasi yang dapat merangsang pertumbuhan ekonomi tanpa tekanan inflasi yang berlebihan.
Namun tingkat inflasi yang stabil menjaga daya beli masyarakat. Masyarakat dapat membeli barang dan jasa yang sama dengan jumlah uang yang relatif tetap.
Bank Indonesia dan pemerintah, baik pusat maupun daerah, berperan penting dalam menjaga daya beli masyarakat. Tentunya Bank Indonesia menggunakan berbagai alat kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi agar tetap stabil sehingga daya beli masyarakat tidak tergerus oleh kenaikan harga yang drastis.
Sementara itu, pemerintah terus mengembangkan program perlindungan sosial seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Sembako atau eks Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) untuk membantu masyarakat kurang mampu.
Pemerintah terus berupaya menstabilkan harga pangan, terutama untuk produk-produk yang harganya berfluktuasi, melalui berbagai cara seperti operasi pasar, pengendalian impor, atau pengembangan pertanian. Selain itu, pemerintah memberikan berbagai insentif kepada pelaku usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk mendorong investasi dan menciptakan lapangan kerja.
Meski masing-masing memiliki perannya, namun kerja sama antara otoritas moneter dan otoritas fiskal tentunya penting karena saling melengkapi. Keduanya terus bersinergi untuk memastikan kebijakan yang dikeluarkan Bank Indonesia sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk mencapai tujuan yang sama.
Kerjasama yang baik dan berkelanjutan antara kedua otoritas diharapkan mampu menjaga daya beli masyarakat yang menjadi kunci terwujudnya perekonomian yang inklusif dan berkelanjutan.
Leave a Reply