Kabar Harapan

Memberikan Informasi Terupdate Dalam Negri & Luar Negri

Pakar UI jelaskan social engineering untuk modus penipuan digital

JAKARTA (ANTARA) – Pakar komunikasi digital Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan menggambarkan maraknya rekayasa sosial sebagai bentuk penipuan yang harus dicegah di sektor digital.

Rekayasa sosial adalah teknik manipulasi psikologis yang digunakan oleh penjahat dunia maya, kata Firman, untuk membuat korban memberikan informasi sensitif, mengakses atau melakukan tindakan tertentu yang menguntungkan si penipu.

Mencoba mencuri informasi yang digunakan untuk membobol sistem keamanan. Baik itu rekening bank, akun media sosial, atau sistem di ponsel kita, kata Furman saat dihubungi ANTARA, Senin di Jakarta.

Penjahat mengeksploitasi kepercayaan, ketidaktahuan, atau kebutuhan calon korban untuk mengelabui mereka agar mengungkapkan informasi pribadi, kata sandi, atau melakukan transaksi jahat, katanya.

Pertanyaan seperti nomor jaminan sosial (NIK), nomor telepon, alamat dan nama ibu kandung sebelum menikah biasa dijadikan kombinasi keamanan di sistem perbankan.

Menurutnya, pelaku memperoleh informasi tersebut dengan pertanyaan sugestif dari orang tertentu atau bahkan dari perintah calon korban di jejaring sosial.

“Korban tidak mengetahui bahwa dirinya ditanyai nama ibu kandungnya sebelum menikah. “Tapi dia tidak sengaja menyebarkannya, lalu informasinya dikumpulkan oleh penipu,” ujarnya.

Furman mengatakan sektor perbankan memiliki sistem keamanan berlapis yang tidak mudah diretas.

Sistem enkripsi dan sistem kata sandi berlapis secara teknis sebenarnya sudah teruji dan aman, katanya.

Ada banyak metode penipuan rekayasa sosial, termasuk phishing, di mana penipu mengirim email, pesan teks, atau situs web palsu untuk meminta informasi pribadi atau login yang mirip dengan organisasi resmi seperti bank.

Kemudian dengan membuat skenario palsu, misalnya menyamar sebagai pegawai bank atau polisi untuk mendapatkan informasi sensitif dari korban.

Apalagi dengan menawarkan sesuatu yang menarik, seperti software gratis atau hadiah, untuk memikat korban agar mengunduh malware atau memberikan informasi pribadi.

Tak hanya itu, tidak jarang penipu berpura-pura menjadi teman atau kolega yang dikenal atau dipercaya oleh korban guna meminta bantuan atau informasi penting.

“Yah, sebenarnya bukan masalah teknis, tapi perilaku sosial kita terprovokasi sehingga mengikuti keinginan pelaku, lalu kita putus,” ujarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *