Jakarta (ANTARA) – Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia menghadapi tantangan unik dalam proses pembangunan. Dengan lebih dari 16.000 pulau dan jumlah penduduk 282,5 juta jiwa, terdiri dari 1.340 suku dan 718 bahasa, keberagaman ini patut menjadi aset berharga.
Sejak masa Orde Baru dan Reformasi, pembangunan Indonesia lebih terfokus pada pembangunan ekonomi yang diukur dengan indikator seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, pendapatan per kapita, dan tingkat pengangguran. Pada saat yang sama, dampak sosial dan lingkungan seringkali terabaikan, yang pada akhirnya menciptakan kebutuhan mendesak untuk mengusulkan paradigma pembangunan baru bagi Indonesia.
Paradigma pembangunan lama didasarkan pada teori ekonomi klasik yang menekankan pentingnya pertumbuhan. Misalnya saja model Harrod-Domar yang menunjukkan bahwa investasi yang tinggi merupakan kunci peningkatan kapasitas produksi. Model ini menyatakan bahwa investasi pada infrastruktur dan sektor produktif dapat menciptakan lapangan kerja dan merangsang pertumbuhan ekonomi.
Demikian pula model Solow yang menekankan peran akumulasi modal dan kemajuan teknologi dalam mencapai pertumbuhan jangka panjang. Teori ini menyatakan bahwa investasi pada modal fisik dan manusia dapat meningkatkan produktivitas dan, pada gilirannya, mendukung pertumbuhan ekonomi.
Dalam konteks Indonesia, pengembangan sektor-sektor seperti perkebunan, kelapa sawit, dan pertambangan yang menarik investasi asing dipandang sebagai langkah strategis untuk mempercepat pertumbuhan.
Namun, fokus berlebihan pada angka-angka ekonomi mengabaikan dimensi sosial yang sangat penting. Pendekatan ini dikritik oleh pemikir dan sosiolog terkemuka Sudjatmoko. Ia menegaskan, pembangunan tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi saja, namun juga peningkatan kualitas hidup masyarakat dan keadilan sosial. Pembangunan yang tidak memperhatikan kesejahteraan sosial dapat memperlebar kesenjangan antara si kaya dan si miskin.
Sudjatmoko menegaskan, pertumbuhan yang dicapai seringkali tidak merata, sebagian kecil masyarakat menikmati hasilnya, sementara banyak masyarakat yang masih berada dalam kemiskinan. Baginya, pendekatan ekonomi yang berlebihan mengabaikan dampak negatif seperti hak asasi manusia, ketidakadilan, dan konflik sosial. Apabila pembangunan tidak memperhatikan aspek sosial dan lingkungan, maka permasalahan yang lebih besar akan muncul di kemudian hari, termasuk kebencian masyarakat yang dapat berujung pada konflik.
Menanggapi tantangan ini, penting bagi Indonesia untuk mengadopsi paradigma baru yang menempatkan masyarakat dan lingkungan hidup sebagai pusat perhatian.
Pembangunan berkelanjutan sangat penting jika aspek ekonomi, sosial dan lingkungan saling terkait. Salah satu teori yang melatarbelakangi paradigma baru tersebut adalah teori pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan oleh Gro Harlem Brundtland dalam laporan “Our Common Future”. Teori ini menekankan bahwa pembangunan harus memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya.
Dalam konteks Indonesia, hal ini berarti merancang kebijakan yang tidak hanya bertujuan untuk pertumbuhan jangka pendek, namun juga melindungi lingkungan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Misalnya, pendekatan yang didasarkan pada energi terbarukan dan pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, model Amartya Sen juga sangat relevan dengan paradigma baru ini. Pendekatan ini menekankan pentingnya pemberdayaan individu untuk berpartisipasi dalam masyarakat dan mengambil keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Dalam konteks pembangunan, hal ini berarti memprioritaskan investasi di bidang pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja sehingga setiap individu dapat mengembangkan potensinya secara maksimal.
Di Indonesia, penerapan teori ini dapat dilihat melalui program-program yang memberdayakan masyarakat, meningkatkan akses terhadap pendidikan berkualitas, dan mendorong partisipasi aktif dalam proses pembangunan. Misalnya, program pendidikan yang menyasar daerah terpencil tidak hanya meningkatkan partisipasi sekolah, namun juga membuka peluang bagi anak-anak untuk mencapai masa depan yang lebih baik.
Lebih lanjut, Muhammad Yunus menawarkan pendekatan yang konsisten dengan paradigma baru. Pendekatan ini berfokus pada penciptaan sistem ekonomi untuk kesejahteraan sosial, dimana masyarakat lokal berada di garis depan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Hal ini mencakup praktik ekonomi yang memberdayakan masyarakat dan berkontribusi terhadap pengentasan kemiskinan.
Contoh penerapan teori ini di Indonesia adalah konsep koperasi dan usaha mikro yang berpartisipasi aktif dalam masyarakat. Dengan demikian, koperasi yang dikelola oleh petani lokal dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya dan mengurangi ketergantungan terhadap pihak ketiga. Dalam model ekonomi ini, keuntungan tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang saja, namun dibagikan kepada seluruh anggota masyarakat.
Dengan mengintegrasikan pendekatan pembangunan berkelanjutan Amartya Sen dan Muhammad Yunus, paradigma baru pembangunan Indonesia dapat menjadi lebih komprehensif dan komprehensif. Pembangunan berkelanjutan harus menjadi tujuan utama, dimana ekonomi, masyarakat dan lingkungan hidup berjalan beriringan.
Mengadopsi paradigma baru ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kinerja perekonomian, tetapi juga untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, damai, dan sejahtera. Dengan memanfaatkan keanekaragaman budaya dan sumber daya alam, Indonesia dapat membangun masa depan yang lebih baik bagi seluruh warganya.
Melalui pendekatan yang menekankan keadilan sosial dan keberlanjutan, Indonesia mempunyai peluang tidak hanya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang kuat, namun juga untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan kompetitif. Paradigma baru ini menawarkan harapan untuk menciptakan pembangunan yang tidak hanya berfokus pada angka, namun juga pada kesejahteraan manusia dan kelestarian lingkungan.
Oleh karena itu, kritik Sudjatmoko terhadap paradigma lama merupakan pengingat penting bahwa pembangunan yang holistik dan berkelanjutan adalah kunci menuju masa depan yang lebih baik.
Pembangunan Indonesia ke depan harus lebih peka terhadap kondisi sosial dan lingkungan agar seluruh lapisan masyarakat dapat memperoleh manfaat yang sama.
*) Agung Hendarto adalah peneliti senior Institut Harkat Negara
Leave a Reply