JAKARTA (ANTARA) – Serangan Israel yang terus berlanjut di Gaza dan Lebanon telah menyebabkan kematian para patriot Palestina dan Hizbullah dengan kehancuran infrastruktur yang menghancurkan dalam waktu kurang dari tiga bulan.
Di antara mereka yang tewas dalam serangan Israel adalah nama-nama terkenal seperti Yahya Sinwar, Ismail Haniya dan Mohammed Deif. Ketiganya adalah pemimpin Hamas, salah satu kelompok perlawanan paling aktif dalam perjuangan kemerdekaan Palestina.
Yahya Sinwar, pemimpin penting Hamas, tewas dalam pertempuran di Jalur Gaza. Hal ini tidak terjadi di gang bawah tanah, seperti yang dituduhkan oleh rezim Zionis Israel. Sinwar tewas dalam baku tembak di Tal-El-Sultan, Gaza selatan.
Sinwar diyakini sebagai dalang serangan besar-besaran Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 dan sangat populer di Israel. Serangan ini kemudian memicu serangan balasan besar-besaran Israel yang berujung pada kehancuran sistematis di Gaza dan Tepi Barat, yang berlanjut hingga saat ini. . .
Selain Sinwar, tokoh kunci Ismail Haniya juga tewas dalam serangan di ibu kota Iran, Teheran. Jatuhnya Haniyeh merupakan pukulan telak bagi Hamas. Pasalnya Haniyeh dikenal sebagai operator gerakan Hamas di luar Gaza.
Di antara para pemimpin Hamas yang jatuh tahun lalu adalah komandan senior Hamas Rohi Mustaha, wakil pemimpin kelompok bersenjata Hamas Marwan Isa, Ayman Nofal, dan Ahmad al-Ghandour. Semua ini menunjukkan intensitas serangan Israel yang melemahkan gerakan perlawanan Hamas di Gaza.
Meningkatnya serangan Israel ke Lebanon juga telah menewaskan beberapa pejabat senior, termasuk Sekretaris Jenderal Hizbullah Hassan Nasrallah dan anggota Dewan Jihad Suheil Hussein Husseini (yang menurut Israel adalah kepala logistik Hizbullah). Dia membangun jaringan dan bertanggung jawab atas transfer senjata antara kelompoknya dan Iran.
Israel juga terus menargetkan sejumlah sasaran yang diidentifikasi sebagai pangkalan Hizbullah di Lebanon selatan dan timur serta sebagian ibu kota Beirut. Mulai dari kantor pusat, bunker, gudang senjata, lembaga keuangan, dan pusat komando transportasi.
Insiden terbaru adalah pemboman Qard al-Hassan, sebuah lembaga keuangan yang diketahui terkait dengan kelompok Hizbullah. Pesawat-pesawat tempur Israel menargetkan cabang-cabang asosiasi di Haya al-Sellum, Borj al-Barajneh dan Gobeira di pinggiran selatan Beirut, melakukan setidaknya sembilan serangan dalam satu jam.
Hizbullah terus menyerang Israel dalam batas wilayahnya, termasuk memerintahkan evakuasi paksa terhadap 25 pemukiman di Israel utara. Hizbullah juga meminta para pemimpin dunia untuk bertindak atas nama Palestina, bukan sekedar mengutuk atau mengutuk. Hizbullah dikenal sangat loyal terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina.
Jumlah korban juga meningkat di Gaza, Tepi Barat dan Lebanon. Menurut angka terbaru, hampir 43.000 orang tewas dan lebih dari 100.000 orang terluka di Gaza, sedikitnya 762 orang tewas dan 6.300 orang terluka di Tepi Barat, 2.600 orang tewas dan 12.200 orang terluka di Lebanon, dan sekitar 400.000 pengungsi di Suriah.
Semua kenyataan ini merupakan tanda-tanda bahwa konflik di Timur Tengah semakin mendalam. Namun, apakah kenyataan tersebut memaksa Israel untuk ‘bertobat’ dan kembali ke jalur diplomasi yang menekankan pada gencatan senjata, pertukaran tahanan, dan rekonstruksi Jalur Gaza, termasuk perjanjian dengan Presiden AS Joe Biden pada Mei 2024, sebagaimana diyakini Hamas?
Atau menghapuskan UNRWA, menghapuskan UNICEF atau WHO, meruntuhkan seluruh Jalur Gaza, membagi Gaza menjadi Netzarim Pass, dan menunjuk perusahaan-perusahaan yang menggunakan data biometrik untuk mengendalikan perpindahan penduduk sebagai “komunitas yang terjaga keamanannya”. ” Ke Israel?
Konflik di Timur Tengah semakin mendalam
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan kematian Yahya Shinwar bukanlah akhir dari perang di Gaza, menurut AFP. “Ini adalah awal dari akhir.”
Pernyataan itu mengatakan Israel tidak memiliki rencana untuk menghentikan serangannya terhadap Gaza, Tepi Barat, Lebanon atau bahkan wilayah lain di Timur Tengah yang dianggap berbahaya bagi Israel.
Netanyahu dan kabinetnya, terutama anggota kelompok sayap kanan, terus mendukung peningkatan serangan militer, sehingga meningkatkan risiko konflik akan meningkat menjadi perang regional meskipun ada upaya diplomasi internasional.
Beberapa sekutu garis keras Netanyahu, termasuk Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, mengatakan Israel tidak bisa berhenti sampai Hamas benar-benar menyerah. Bahkan kelompok nasionalis sayap kanan telah mengumumkan rencana untuk mengusir seluruh warga Palestina dari Gaza, menjadikan mereka pengungsi di seluruh dunia.
“Ribuan orang Yahudi kini siap pindah ke Gaza,” kata Daniella Weiss, pemimpin pemukim Israel dan pemimpin gerakan pemukim Ortodoks Nachala. Weiss mengatakan para pemukim yang pindah ke Gaza akan menyaksikan orang-orang Yahudi pergi ke Gaza dan orang-orang Arab menghilang dari Gaza.
Apalagi Netanyahu masih menyebut Iran sebagai musuh bebuyutan. Sabtu (26/10) lalu, Israel menyerang sasaran militer Iran melalui wilayah udara Irak yang dikuasai Amerika Serikat (AS).
Sasaran serangan tersebut adalah pabrik rudal dan infrastruktur pertahanan udara di Teheran, Khuzestan, dan provinsi Ilam. Empat tentara Iran dilaporkan tewas dalam serangan yang terjadi sekitar pukul 02.30 waktu setempat.
Serangan tersebut membuka babak baru persaingan kedua negara. Iran mengatakan pihaknya mempunyai hak untuk menanggapi Israel atas nama pembelaan diri. Sejumlah sekutu Israel terus mengingatkan Iran untuk tidak membalas serangan tersebut sambil “memastikan rezim Zionis melakukan apa yang seharusnya dilakukan.”
Sementara itu, banyak negara mengutuk serangan Israel terhadap Iran dan meminta kedua belah pihak menahan diri dari tindakan yang dapat memicu konflik lebih lanjut di Timur Tengah.
Penghormatan Palestina dan Internasional
Warga Palestina mengecam tindakan Israel yang memisahkan Gaza utara dari wilayah lain di Jalur Gaza sebagai “kejahatan perang,” melalui Juru Bicara Kepresidenan Nabil Abu Roudeneh.
Menjadi semakin tidak masuk akal untuk mengklaim bahwa militer Israel menghentikan pertempuran sebagai bagian dari operasi darat untuk menghancurkan basis Hamas di wilayah tersebut. Mereka terus melakukan aksi tanpa henti selama lebih dari 22 hari dengan dalih ‘menghancurkan upaya Hamas untuk bangkit kembali di Jalur Gaza.’
Abu Rudeine berpendapat bahwa langkah-langkah ini tidak dapat membawa perdamaian ke wilayah tersebut dan satu-satunya solusi yang dapat diterima adalah pembentukan negara Palestina merdeka berdasarkan perbatasannya pada tahun 1967 dengan ibu kota, Yerusalem Timur.
Berbagai pihak internasional mengecam serangan Israel di Jalur Gaza bagian utara. Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa (UE) Josep Borrell memperingatkan bahwa kawasan Timur Tengah berada di ambang perang skala besar.
Kematian Yahya Sinwar menandai titik balik dalam siklus kekerasan yang melanda wilayah tersebut. Borrell meminta Uni Eropa mengambil langkah nyata untuk membantu Gaza, termasuk memberikan bantuan kemanusiaan dan mendorong solusi politik.
Borrell juga mengutuk penggunaan kekuatan Israel yang tidak proporsional selama operasi militernya, khususnya di Jalur Gaza, Tepi Barat dan Lebanon.
Ia menegaskan, hak pembelaan diri Israel tidak bisa dijadikan alasan melakukan penindasan yang merugikan warga sipil. Selain itu, serangan Israel terhadap pasukan penjaga perdamaian PBB di Lebanon juga disoroti, yang semakin memperburuk situasi di wilayah tersebut.
Respon Regional: Yordania, Qatar
Ketegangan di Timur Tengah meluas tidak hanya ke wilayah konflik langsung seperti Gaza, Tepi Barat, dan Lebanon, namun juga ke negara-negara tetangga.
Yordania, yang memelihara hubungan damai dengan Israel, telah menyatakan niatnya untuk tidak membiarkan salah satu pihak melanggar wilayah atau kedaulatannya.
Dalam pertemuan dengan para pejabat Iran, Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi menegaskan bahwa Iran tidak akan menjadi zona perang bagi siapa pun. Hal ini menunjukkan kekhawatiran Yordania terhadap kemungkinan konflik meluas ke wilayahnya, terutama seiring meningkatnya ketegangan antara Israel dan Iran.
Qatar juga mengambil sikap serupa, dengan mengatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan negara mana pun di dalam atau di luar kawasan melakukan serangan menggunakan pangkalan militer AS di wilayahnya.
Qatar telah bertindak sebagai mediator dalam konflik Gaza selama bertahun-tahun, namun upaya untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata sering kali terhambat oleh sikap keras kepala kedua pihak yang bertikai.
Jatuhnya pemimpin Hamas seperti Yahya Sinwar dan Ismail Haniyeh seharusnya menjadi titik balik konflik Timur Tengah. Namun fakta di lapangan berbeda dan konflik masih terus berlanjut.
Israel terus melakukan serangan udara dan serangan darat terhadap Gaza, Tepi Barat, Lebanon, Yaman, Suriah, dan yang terbaru Iran, mengabaikan 13 proposal gencatan senjata yang ditengahi Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar, hingga Desember 2019. Proposal ke-14 juga ditolak pada bulan Februari. Senin. 28 Oktober 2024
Melalui semua ini, Netanyahu menyiratkan bahwa perang masih jauh dari selesai, meski banyak tokoh Hamas dan Hizbullah yang tumbang. Israel tidak akan berhenti sampai Hamas dan Hizbullah benar-benar hancur.
Pada akhirnya, kesediaan Israel untuk menyelesaikan konflik Timur Tengah masih belum jelas. Apalagi aksi militer Israel terus memancing reaksi keras dari kelompok kemerdekaan Palestina bahkan dunia internasional.
Tampaknya pertumpahan darah dan ketegangan di kawasan belum usai.
Leave a Reply