Jakarta (ANTARA) – Anggota Satker Gizi dan Penyakit Metabolik IDAI, dr Cut Nurul Hafifah, SpA(K) menjelaskan, tidak semua anak pendek menderita gagap, namun yang diketahui semua anak tunanetra bertubuh pendek, sehingga tim medis harus memantau tinggi dan berat badan untuk mengidentifikasinya sejak dini.
“Banyak orang tua yang datang ke fasilitas kesehatan hanya dalam keadaan berat badannya saja, tapi tinggi badannya tidak tinggi,” kata dokter spesialis anak dalam diskusi online di Jakarta, Selasa.
“Jadi kita sebagai orang tua, kalau sudah sampai pada tahap sehat, minta diukur berat badan dan panjang badannya,” ujarnya.
Gagap bisa terjadi pada seribu hari pertama kehidupan, mulai dari konsepsi hingga usia dua tahun.
Dr Norul menekankan pentingnya memperhatikan pola makan ibu selama hamil dan saat melahirkan, termasuk pemberian ASI eksklusif dan makanan pendamping ASI (MPASI).
Jika kegagapan tidak segera diatasi, dampaknya akan menjadi “lingkaran setan” gizi buruk yang terus berlanjut dari generasi ke generasi.
Anak-anak penderita gagap berisiko menjadi remaja dan orang dewasa dengan tingkat gizi buruk yang tinggi, yang kemudian akan melahirkan generasi baru yang berisiko mengalami gangguan tersebut.
Gagap juga mempengaruhi perkembangan kognitif anak. Berdasarkan penelitian, anak penderita gagap rata-rata memiliki IQ sekitar 70, sehingga hanya memungkinkan untuk mengenyam pendidikan maksimal hingga SMA.
Selain itu, anak cacat juga berisiko mengalami gangguan metabolisme yang dapat berujung pada obesitas, diabetes, dan hipertensi di masa dewasa.
Faktor lingkungan juga berperan dalam mencegah sembelit, seperti kebersihan, akses jalan, dan pendidikan tentang gizi, menyusui, dan menyusui.
Ia juga meminta pemerintah untuk mendukung investasi dalam pendidikan gizi dan vaksinasi yang diperlukan untuk mencegah infeksi yang mempengaruhi pertumbuhan anak.
Pemantauan berat badan anak yang akurat juga dinilai penting, apalagi setiap kunjungan ke Posiando harus memuat penimbangan berat badan dan mengukur tinggi atau panjang badan dengan benar, terutama pada anak di bawah dua tahun.
Para orang tua juga diingatkan untuk mencatat perkembangan anaknya di buku kesehatan ibu dan anak, agar tumbuh kembangnya dapat dipantau secara berkala sesuai kurva WHO.
“Setiap orang tua harus memantau tumbuh kembang anaknya, masukkan rencananya ke dalam buku kesehatan ibu dan anak. Ada kurva pertumbuhan WHO, bisa dicatat, kemudian dipantau apakah anak tumbuh sesuai potensinya,” ujarnya.
Leave a Reply