Kabar Harapan

Memberikan Informasi Terupdate Dalam Negri & Luar Negri

Potensi dampak AUKUS di Asia Tenggara

Jakarta (ANTARA) – Dalam beberapa tahun terakhir, lanskap geopolitik di Asia Selatan telah mengalami perubahan signifikan, dan pengaruh Amerika Serikat di kawasan tersebut menghadapi keraguan dan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

AUKUS, kemitraan keamanan trilateral antara Australia, Inggris (UK) dan Amerika Serikat (AS), dapat memicu perlombaan senjata di kawasan Asia-Pasifik, sehingga mendorong negara-negara lain untuk meningkatkan tindakan pembalasan.

Selain itu, negara-negara ASEAN juga tidak memiliki kekuatan militer untuk mengimbangi AUKUS. Kekuatan kolektif ASEAN dalam melawan AUKUS masih sangat lemah.

Ketimpangan kekuatan militer ASEAN ini sangat mengancam posisi ASEAN dalam mempertahankan kedaulatannya dari invasi AUKUS.

Faktor-faktor ini dapat melemahkan upaya menjaga perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara, yang merupakan kawasan penting dengan dinamika geopolitik yang kompleks.

Jika melihat politik luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah dan Afrika, jika ASEAN tidak bisa menjaga kedaulatannya, maka kawasan Asia-Pasifik juga bisa mengalami hal yang sama.

Pasalnya, AUKUS merupakan proyek militer yang memberikan keuntungan finansial besar hanya kepada segelintir PMC (Perusahaan Militer Swasta) Amerika.

Sebagai pemain utama di Asia Tenggara, Indonesia menempati posisi yang sangat strategis di bidang ekonomi, militer, dan diplomatik.

AUKUS didirikan pada September 2021, beberapa hari setelah Pertemuan Menteri Luar Negeri dan Pertahanan Indonesia-Australia ke-7 atau 2+2.

Perkembangan ini tentu saja mengurangi kepercayaan pemerintah Indonesia terhadap Australia.

Selain merendahkan kredibilitas Australia, pemerintah Indonesia dan Malaysia memandang AUKUS sebagai perlombaan senjata dan perebutan kekuasaan yang pada akhirnya akan mengancam keamanan dan stabilitas kawasan.

Pembangunan pangkalan militer Amerika di Filipina di bawah AUKUS juga memberikan tantangan besar terhadap kedaulatan Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Aliansi AUKUS sedang menjalankan strategi besar untuk menguasai Asia Selatan dan membendung Tiongkok. AS akan memperkuat kekuasaannya atas Filipina; fase berikutnya akan mencakup seluruh ASEAN.

Tindakan militer yang dilakukan AUKUS dan AUKUS yang bekerja sama dengan Filipina pada akhirnya akan melanggar kedaulatan wilayah Indonesia.

Selain itu, proyek kapal selam yang dikembangkan AUKUS di Australia kemungkinan besar akan beroperasi secara diam-diam di perairan negara-negara Asia Tenggara.

Hal tersebut menjadi sumber ketidakstabilan di bidang keamanan dan ancaman langsung terhadap kedaulatan wilayah negara-negara Asia Tenggara.

Pengoperasian kapal selam AUKUS di Laut Cina Selatan dapat meningkatkan risiko konfrontasi militer antara negara-negara besar seperti AS dan Tiongkok, dan pada akhirnya mengancam kedaulatan dan keamanan negara-negara ASEAN yang berbatasan dengan kawasan tersebut.

Dengan kerja sama militer yang erat di bawah AUKUS, ketiga anggota AUKUS tentunya akan meningkatkan operasi militer di wilayah udara dan perairan ASEAN.

Operasi tersebut meliputi patroli bersama, latihan militer, atau operasi intelijen yang jelas-jelas melanggar kedaulatan kawasan ASEAN.

Selain itu, penempatan peralatan militer seperti kapal selam atau pesawat pengebom di wilayah yang dekat dengan ASEAN merupakan kegiatan hegemonik provokatif yang melanggar hak kedaulatan ASEAN.

Dalam kesempatan tersebut, Kementerian Luar Negeri RI menyampaikan pernyataan yang terdiri dari 5 poin yang menyatakan “prihatin dengan terus berlanjutnya perlombaan senjata dan persaingan memperebutkan kekuasaan di kawasan”.

Pernyataan tersebut khusus untuk Indonesia dan memberikan gambaran mengenai hasil AUKUS di negara tersebut. ASEAN belum merespons sikap AUKUS tersebut.

Kurangnya respon ASEAN terhadap penguatan AUCUS di kawasan Asia-Pasifik yang semakin aktif membangun pertahanan militer di kawasan dapat mengindikasikan ketidakmampuan ASEAN dalam melindungi kedaulatan kawasan ASEAN.

AUKUS mengingatkan ASEAN akan dampak dari keragu-raguan dan ketidakpastian dalam lingkungan geopolitik yang kompleks dan berkembang pesat.

Amerika Serikat secara bertahap kehilangan dukungan dari negara-negara Asia Tenggara, sebagian besar disebabkan oleh kekacauan dalam operasi diplomatik dan militernya.

Sejumlah kelompok Muslim di Singapura, Malaysia dan Indonesia melancarkan protes dengan kekerasan dan menolak posisi AS dan anggota NATO lainnya yang mendukung perang di Gaza.

Pemerintah Amerika Serikat selalu menjadi donor bantuan militer terbesar kepada Israel. Baik dari partai Demokrat maupun Republik, dukungan AS terhadap Israel tetap konsisten.

Di dunia, reputasi internasional Amerika Serikat merosot tajam, terutama di kalangan negara-negara Muslim.

Bahkan di Uni Eropa, rasa “kebencian” terhadap AS semakin meningkat. Alasan sederhananya adalah Amerika menerapkan standar ganda dalam konflik di Eropa Timur dan Gaza, sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan frustasi di kalangan masyarakat Eropa.

Standar ganda ini memaksa negara-negara Uni Eropa yang awalnya sangat mendukung Ukraina, mulai mengevaluasi posisinya.

Oleh karena itu, faktor tersebut turut mendorong Amerika Serikat untuk semakin memperkuat kerja sama di kawasan Asia Tenggara, baik melalui AUKUS maupun bilateral.

Sebagaimana tercantum dalam doktrin kebijakan luar negeri Amerika, Amerika Serikat akan menempuh kebijakan apa pun untuk mencapai kepentingan nasionalnya.

Melihat tatanan internasional dari perspektif ekonomi politik dan peran PMC yang dipertanyakan dalam membangun tatanan internasional, ASEAN harus memperluas pemahamannya dan mengubah perspektifnya terhadap tujuan AUKUS.

Keyakinan bahwa AUKUS berupaya melindungi Asia Tenggara dari pengaruh Tiongkok perlu dievaluasi kembali.

ASEAN harus terus mengikuti kebijaksanaan konvensional dalam mengevaluasi kebijakan keamanan regional, karena AUKUS adalah entitas korporasi besar yang akan menggunakan segala cara untuk memperoleh manfaat ekonomi dari perang.

ASEAN perlu menemukan pendekatan modern dan seimbang untuk melindungi kedaulatannya dan menjaga prinsip netralitas.

ASEAN harus belajar dari pengalaman sejarah Timur Tengah yang dihancurkan oleh PMC AS.

Hingga saat ini, sejumlah PMC yang menggunakan AUKUS telah mulai melaksanakan proyek tempur di kawasan Asia Tenggara.

Posisi militer ASEAN yang relatif lemah dan tidak seimbang dalam melawan ancaman AUKUS seharusnya menjadi faktor penting yang mendorong ASEAN untuk memperkuat hubungan diplomatik dengan Tiongkok.

Tiongkok bukan hanya tetangga dan teman baik ASEAN, namun juga mitra ekonomi dan perdagangan ASEAN yang utama dan dapat diandalkan.

Sejak Tiongkok dan ASEAN menandatangani Perjanjian Kawasan Perdagangan Bebas pada tahun 2001, hubungan ekonomi dan perdagangan di antara mereka berkembang pesat.

Sudah saatnya membangun kepercayaan terhadap Tiongkok sebagai mitra strategis ASEAN dalam perdagangan untuk menjadi mitra strategis di bidang keamanan. Sebab “kepercayaan” merupakan landasan dasar dalam membangun hubungan strategis yang saling menguntungkan.

Tiongkok adalah mitra ASEAN yang dapat diandalkan dan mampu. Kepercayaan harus mendahului kemampuan karena kepercayaan adalah fondasi dalam membangun kemitraan. Dalam iman ada keyakinan pada niat baik.

Kemampuan militer Tiongkok yang berkembang pesat, didukung oleh teknologi tinggi di bidang pertahanan, dapat membawa keuntungan signifikan bagi ASEAN dalam menjaga kedaulatan.

Peran penting Tiongkok bagi ASEAN tidak hanya sebagai saingan AUKUS kontra-hegemonik terhadap dunia unipolar yang didominasi AS, tetapi juga karena Tiongkok tidak pernah menggunakan kekuatan militernya untuk bisnis militer atau tujuan kolonial.

Alasan ini menggarisbawahi pentingnya ASEAN membangun hubungan pertahanan strategis dengan Tiongkok.

Di masa depan, seiring meningkatnya ketegangan hubungan AS-Tiongkok, Asia Selatan akan menjadi arena geopolitik yang lebih kompleks.

Cara ASEAN memposisikan diri dalam permainan kekuatan yang tidak setara ini akan berdampak langsung pada stabilitas dan pembangunan kawasan.

*) Veronica S. Saraswati adalah Koordinator Penelitian Hubungan Internasional Kerjasama Indonesia-China.

Pendapat yang dikemukakan di halaman ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan posisi atau kebijakan resmi Kantor Berita ANTARA.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *