Jakarta (ANTARA) – Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Jenderal Arys Hilman Nugraha mengatakan suasana permisif masyarakat Indonesia terhadap pembajakan, termasuk pembajakan buku, menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi secara tegas oleh pemerintah guna menciptakan industri kreatif yang lebih sehat. .
Berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta tahun 2014, kedua hak tersebut (hak moral dan hak ekonomi) dilindungi ketika suatu ciptaan lahir berdasarkan asas deklaratif, tidak perlu didaftarkan atau bahkan didaftarkan, kata Arys saat dihubungi melalui ANTARA. di telepon, Senin.
Sayangnya, banyak pihak yang tidak bertanggung jawab mengabaikan prinsip hak cipta dalam sebuah karya, termasuk buku, dan melakukan pembajakan ilegal.
Bahkan, Arys menyebut masyarakat Indonesia cukup permisif atau menjadikan tindakan hacking sebagai pekerjaan biasa. Padahal, tindakan permisif dalam pembajakan karya dapat mengganggu proses kreatif di dunia penerbitan dan industri kreatif lainnya di Indonesia.
“Di Indonesia cukup sulit karena suasananya permisif dan permisif terhadap praktik peretasan,” kata Arys.
Misalnya, penjual buku bajakan di toko online atau marketplace terang-terangan mengatakan bahwa buku yang mereka tawarkan adalah buku cetak ulang atau salinan sendiri, sehingga harganya lebih murah.
Ada juga orang “nakal” yang menuliskan deskripsi bukunya sebagai buku pindaian atau buku cetakan asli, padahal sebenarnya buku tersebut adalah buku bajakan.
“Karena suasananya yang permisif, mereka menjual apa pun yang mereka inginkan, bahkan terang-terangan mengatakan bahwa buku yang mereka jual adalah bajakan,” kata Arys.
“Bukan hanya penjualnya saja, pembacanya juga sudah bersikap permisif, seolah-olah pembajakan adalah hal biasa sehingga tidak ada masalah bagi mereka untuk membeli dari pembajak buku,” lanjutnya.
Suasana permisif ini berdampak negatif terhadap pencipta lapangan kerja dan pihak-pihak yang terlibat dalam industri kreatif secara legal. Pembajakan karya membuat pencipta tidak mendapatkan apa-apa karena hak ekonominya dilanggar dan hal ini mempengaruhi semangat berkarya di Indonesia.
“Banyak sekali inovasi yang semuanya memerlukan perlindungan. Jika negara kita ingin maju, kita harus bisa melindungi karya-karya kreatif, baik itu buku, desain produk, atau keluaran inovatif lainnya, agar para pencipta tersebut tidak kehilangan semangat untuk berkreasi. kata Arys.
Ia melanjutkan: “Kami selalu mengkampanyekan bahwa jika ingin mendapatkan karya yang berkualitas, karya yang menarik dari pencipta yang sudah ada, Anda harus membeli yang asli.”
Sejumlah langkah juga dilakukan Arys dan IKAPI untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pembajakan buku. Mulai dari kampanye, sosialisasi, bahkan diskusi langsung dengan pemerintah.
“Tentunya kami mencoba melakukan kampanye seperti bagaimana memilih buku asli yang ada di pasaran, makanya kami siarkan agar masyarakat tahu, ‘ini jenis buku bajakan’ atau ‘ini ciri-ciri orang yang menjual buku bajakan. ‘ katanya pada Arys.
“Kami juga berharap ada kebijakan dari pemerintah. Pemerintah selama ini mengikuti aturan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mengatasi permasalahan pasar. Jika ada produk bajakan yang ditampilkan, tarik saja produk tersebut melalui aduan.” lanjutnya
Namun, Arys menilai penonaktifan akun pembajakan buku di marketplace hanya bersifat sementara dan tidak efektif dalam memberantas pembajakan buku di Indonesia.
Dia ingin pemerintah dan platform pasar bersinergi dengan IKAPI dan industri kreatif lainnya untuk memilih hanya produk asli yang bisa dijual secara online maupun offline.
“Kami berharap pemerintah turut ambil bagian dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi pengakuan hak cipta. Pemerintah tidak boleh mengabaikan bahwa saat ini sedang maraknya penjualan buku bajakan, terutama di pasaran,” kata Arys.
“Jika kita ingin negara kita maju, kita sudah mencapai visi 2045 sebagai negara maju, maka satu hal yang sangat penting adalah kita semua harus menghormati hak cipta,” ujarnya mengakhiri perbincangan.
Leave a Reply